Minggu, 24 November 2013

PERUSAHAAN YANG MENERAPKAN PRINSIP UTILITARIANISME

Etika utilitarianisme adalah suatu kebijaksanaan atau tindakan itu baik dan tepat secara moral jika dan hanya jika kebijaksanaan atau tindakan tersebut mendatangkan manfaat atau keuntungan untuk orang banyak. Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Adapun maksimalnya adalah dengan memperbesar kegunaan, manfaat, dan keuntungan yang dihasilkan oleh perbuatan yang akan dilakukan. Perbuatan harus diusahakan agar mendatangkan kebahagiaan daripada penderitaan, manfaat daripada kesia-siaan, keuntungan daripada kerugian, bagi sebagian besar orang  Dengan demikian, perbuatan manusia baik secara etis dan membawa dampak sebaik-baiknya bagi diri sendiri dan orang lain.
Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menulis bahwa moralitas ialah pencarian “kebaikan akhir” atau “kebaikan unggul”. Ini dapat diterima, tetapi pertanyaannya ialah tetap bagaimana mendefinisikan kebaikan akhir itu? Kebaikan akhir itu seringkali ditafsirkan sebagai kebahagiaan, yang membawa kita ke satu teori utama teleologi, utilitarianisme. Utilitarianisme memandang pada konsekuensi suatu tindakan, dan didasarkan pada karya Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Ada kesamaan sejarah dengan pemikir lain dalam kebudayaan yang berbeda, misalnya apa yang diajarkan oleh Mo Tzu di Cina dalam abad ke-6 SM. “Prinsip utilitas menekankan bahwa kita perlu selalu menghasilkan keseimbangan maksimum antara kesenangan/kenikmatan atas rasa sakit, atau kebaikan atas cedera, atau nilai positif atas tak-bernilai.”
Awalnya ahli-ahli filsafat yang mengikuti jalan berpikir ini memfokuskan pada nilai kebahagiaan; tetapi, akhir-akhir ini nilai intrinsik termasuk persahabatan, pengetahuan, kesehatan, keindahan, otonomi, pencapian dan sukses, pemahaman, kesenangan dan hubungan pribadi yang mendalam telah ditambahkan. Utilitarianisme dapat berupa hal yang dingin dan berperhitungan, tetapi telah dinyatakan oleh para pendirinya dan orang-orang lain sebagai yang merupakan pernyataan cinta persaudaraan. Utilitarianisme secara internal koheren, sederhana dan menyeluruh dan dapat memecahkan dilema. Kita dapat juga mempersoalkan kebahagiaan untuk orang yang akan hadir (potensial), jadi menerapkannya bagi persoalan reproduksi manusia. 
Tetapi, mungkin tidak ada konsekuensialis murni. Jika ada sedikit perbedaan dalam konsekuensi, sebagian besar orang akan memandang salah untuk mengingkari janji, dan akan mengambil keputusan atas dasar keterikatan itu. Semua masyarakat menerima sejenis hak milik, dan sebagian besar tidak menerima mencuri dari si kaya untuk diberikan pada si miskin, walaupun ini akan menolong lebih banyak orang. Tetapi, banyak masyarakat menerima skala pajak yang berbeda, mengenakan pajak terhadap penerima penghasilan yang lebih tinggi semakin besar. Kebanyakan orang menghargai motif yang baik di atas motif jelek, walaupun konsekuensinya dapat sama. Juga pemikiran para konsekuensialis mungkin memperkenankan pelanggaran hak-hak asasi manusia, dan dapat secara berlebihan membatasi otonomi.
Konsep Utilitarianisme adalah sebuah prinsip yang sering digunakan sebagai dasar pemikiran bagi perilaku yang harus dibenarkan. Secara singkat, pendekatan ini  pada pemikiran etis mengatakan bahwa kebenaran dan kesalahan dari setiap tindakan seluruhnya tergantung pada hasilnya yang diperoleh dari perbuatan tersebut. Nilai positif Utilitarianisme terletak pada sisi rasionalnya dan universalnya. Rasionalnya adalah kepentingan orang banyak lebih berharga daripada kepentingan individual. secara universal semua pebisnis dunia saat ini berlomba-lomba mensejahterakan masyarakat dunia, selain membuat diri mereka menjadi sejahtera. berbisnis untuk kepentingan individu dan di saat yang bersamaan mensejahterakan masyarakat luas adalah pekerjaan profesional sangat mulia. 
Will Kymlicka, menegaskan bahwa etika ultilitarinisme mempunyai 2 daya tarik yaitu :
Etika ultilitarinisme sejalan dengan instuisi moral semua manusia bahwa kesejahterahan manusi adalah yang paling pokok bagi etika dan moralitas dan etika ultilitarinisme sejalan dengan instuisi kita bahwa semua kaidah moral dan tujuan tindakan manusia harus dipertimbangkan, dinilai dn diuji berdsarkan akibatnya bagi kesejahterahan manusia.
Etika ini memiliki kriteria antara lain manfaat, manfaat terbesar, dan bagi sebanyak mungkin orang. Antara lain:

1. Manfaat
Bahwa kebijakan atau tindakan tertentu dapat mendatangkan manfaat atau kegunaan   tertentu.

2. Manfaat terbesar
Sama halnya seperti diatas, mendatangkan manfaat yang lebih besar dalam situasi yang lebih besar. Tujuannya meminimisasikan kerugian sekecil mungkin.

       3. Manfaat bagi sebanyak m ungkin orang.
Kriteria yang sekaligus menjadi pegangan objektif etika utilitarianisme adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Dengan kata lain, kebijakan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut Utilitarianisme adalah kebijakan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau tindakan yang memberika kerugian bagi sekecil orang / kelompok tertentu.
Etika utilitarianisme  terdapat juga terdapat nilai positif, yakni:
a)   Rasionalitas, prinsip moral yang diajukan oleh etika utilitarianisme ini tidak didasarkan pada   aturan-aturan kaku yang mungkin tidak kita pahami dan yang tidak bias kita persoalkan keabsahannya. 
b)   Universalitas, yaitu berbeda dengan etika teleologi lainnya yang terutama menekankan manfaat bagi diri sendiri atau kelompok sendiri, utilitarianisme justru mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang.
Etika Utilitarianisme ditinjau sebagai Proses dan sebagai Standart Penilaian, adalah:  
1.      Etika utilitarianisme dipakai sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak. Dengan kata lain, etika utilitarianisme dipakai sebagai prosedur untuk mengambil keputusan. Ia menjadi sebuah metode untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.   
2.      Etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian bai tindakan atau kebijaksanaan  yang telah dilakukan. Dalam hal ini, ketiga criteria di atas lalu benar-benar dipakai sebagai criteria untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan memang baik atau tidak. Yang paling pokok adalah menilai tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat atau konsekuensinya yaitu sejauh mana ia mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang. 
Dibalik itu juga etika ultilitarinisme terdapat kelemahan-kelemahan, antara lain :
·         Manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas sehingga dalam praktiknya malah menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Karena manfaat manusia berbeda yang 1 dengan yanag lainnya.
·         Persoalan klasik yang lebih filosofis adalah bahwa etika ultilitarinisme tidak pernaah menganggap serius suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai dari suatu tindakan sejauh kaitan dengan akibatnya. Padahal, sangat mungkin terjadi suatu tindaakan pada dasarnya tidak baik, tetapi ternyata mendatangkan keuntungan atau manfaat.
·         Etika ultilitarinisme tidak pernah menganggap serius kemauan atau motivasi baik seseorang
·         Variable yang dinilai tidaak semuanya bisa dikuantifikasi. Karena itu sulit mengukur dan membandingkan keuntungan dan kerugian hanya berdasarkan variable yang ada.
·         Kesulitan dalam menentukan prioritas mana yang paling diutamakan.
·         Bahwa etika ultilitarinisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingn mayoritas. Yang artinya etika ultilitarinisme membenarkan penindasan dan ketidakadilan demi manfaat yang lebih bagi sekelompok orang.  
Analisis keuntungan dan kerugian yaitu:
Etika ultilitarinisme sangat cocok dipakai untuk membuat perencanaan dan evaluasi bagi tindakan atau kebijakan yang berkaitan dengan orang banyak. Dipakai secara sadar atau tidaak sadar dalam bidang ekonomi, social, politik yang menyangkut kepentinagan orang banyak.
Pertama, keuntungan dan kerugian (cost and benefits) yang dianalisis jangan semata-mata dipusatkan pada keuntungan dan kerugian bagi perusahaan,  kendati benar bahwa ini sasaran akhir. Yang juga perlu mendapat perhatian adalah keuntungan dan kerugian bagi banyak pihak lain yang terkait dan berkepentingan, baik kelompok primer maupun sekunder. Jadi, dalam analisis ini perlu juga diperhatikan bagaimana daan sejauh mana suatu kebijaksanaan dan kegiatan bisnis suatu perusahaan  membawa akibat yang menguntungkan dan merugikan bagi kreditor, konsumen, pemosok, penyalur, karyawan, masyarakat luas, dan seterusnya. Ini berarti etika utilitarianisme sangat sejalan dengan apa yang telah kita bahas sebagai pendekatan stakeholder.
Kedua, seringkali terjadi bahwa analisis keuntungan dan kerugian ditempatkan dalam kerangka uang (satuan yang sangat mudah dikalkulasi). Yang juga perlu mendapat perhatian serius adalah bahwa keuntungan dan kerugian disini tidak hanya menyangkut aspek financial, melainkan juga aspek-aspek moral; hak dan kepentingan konsimen, hak karyawan, kepuasan konsumen, dsb. Jadi, dalam kerangka klasik etika utilitarianisme, manfaat harus ditafsirkan secara luas dalam kerangka kesejahteraan, kebahagiaan, keamanan sebanyak mungkin pihhak terkait yang berkepentingan.
Ketiga¸bagi bisnis yang baik, hal yang juga mendapat perhatian dalam analisis keuntungan dan kerugian adalah keuntungan dan kerugian dalam jangka panjang. Ini penting karena bias saja dalam jangka pendek sebuah kebijaksanaan dan tindakan bisnis tertentu sangat menguntungkan, tapi ternyata dalam jangka panjang merugikan atau paling kurang tidak memungkinkan perusahaan itu bertahan lama. Karena itu, benefits yang menjadi sasaran utama semua perusahaan adalah long term net benefits.
Sehubungan dengan ketiga hal tersebut, langkah konkret yang perlu dilakukan dalam membuat sebuah kebijaksanaan bisnis adalah mengumpulkan dan mempertimbangkan alternative kebijaksanaan bisnis sebanyak-banyaknya. Semua alternative kebijaksanaan dan kegiatan itu terutama dipertimbangkan dan dinilai dalam kaitan dengan manfaat bagi kelompok-kelompok terkait yang berkepentingan atau paling kurang, alternatif yang tidak merugikan kepentingan semua kelompok terkait yang berkepentingan. Kedua, semua alternative pilihan itu perlu dinilai berdasarkan keuntungan yang akan dihasilkannya dalam kerangka luas menyangkut aspek-aspek moral. Ketiga, neraca keuntungan dibandingkan dengan kerugian, dalam aspek itu, perlu dipertimbagkan dalam kerangka jangka panjang. Kalau ini bias dilakukan, pada akhirnya ada kemungkinan besar sekali bahwa kebijaksanaan atau kegiatan yang dilakukan suatu perusahaan tidak hanya menguntungkan secara financial, melainkan juga baik dan etis. 

CSR Goal Indosat
Bertumbuh, mematuhi ketentuan dan regulasi yang berlaku serta Peduli kepada masyarakat.
Program CSR di tahun 2008 memiliki tema khusus “Indosat Cinta Indonesia”, yang kemudian pada tahun 2009, tema CSR Indosat berkembang menjadi “Satukan Cinta Negeri” sebagai bentuk refleksi komitmen dan tanggungjawab Indosat sebagai perusahaan di Indonesia yang Peduli atas kesejahteraan masyarakat dan lingkungan, serta upayanya untuk senantiasa berkarya, memberikan manfaat, serta mengajak peran serta seluruh stakeholder untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang lebih baik, yang merupakan terjemahan  dari keinginan   masyarakat pada umumnya untuk terlibat secara aktif dalam berbagai program sosial Indosat.
 

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Utilitarianisme
http://ulffahfahh.wordpress.com/2012/10/24/tugas-1-etika-bisnis/
http://pengertianx.blogspot.com/2013/05/pengertian-csr-corporate-social-responsibility-adalah.html
http://gietayonghwa.wordpress.com/2012/11/29/salah-satu-contoh-perusahaan-pengguna-csr-corporate-social-responsibility/ 

Senin, 04 November 2013

Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi dalam Lingkup Kejahatan Ekonomi

A.   Kejahatan Korporasi

1.  Pengertian Kejahatan Korporasi
            Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuataan yang oleh masyarakat dipandang sebagai kegiatan yang tercela, dan terhadap pelakunya dikenakan hukuman (pidana). Sedangkan korporasi adalah suatu badan hukum yang diciptakan oleh hukum itu sendiri dan mempunyai hak dan kewajiban. Jadi, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum yang dapat dikenakan sanksi. Dalam literature sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk White Collar Crime.Dalam arti luas kejahatn korporasi ini sering rancu dengan tindak pidana okupasi, sebab kombinasi antara keduanya sering terjadi.
Menurut Marshaal B. Clinard dan Peter C Yeager sebagaimana dikutip oleh Setiyono dikatakan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bias diberi hukuman oleh Negara, entah di bawah hukum administrasi Negara, hokum perdata maupun hukum pidana.
           Menurut Marshaal B. Clinard kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah putih namun ia tampil dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati kedalam bentuk kejahatan terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga dapat berbentuk korporasi yang merupakan perusahaan keluarga, namun semuanya masih dalam rangkain bentuk kejahatan kerah putih.
           Menurut Sutherland kejahatan kerah putih adalah sebuah perilaku keriminal atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang memiliki keadaan sosio- ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan aktifitas pekerjaannya.
           Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejahatan korporasi pada umumnya dilakukan oleh orang dengan status social yang tinggi dengan memanfaatkan kesempatan dan jabatan tertentu yang dimilikinya. Dengan kadar keahlian yang tinggi dibidang bisnis untuk mendapatkan keuntungan dibidang ekonomi.

2. Karakteristik Kejahatan Korporasi
          Salah satu hal yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional atau tradisional pada umumnya terletak pada karakteristik yang melekat pada kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain :
  1.  Kejahatan tersebut sulit terlihat ( Low visibility ), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang rutin dan normal, melibatkan keahlian professional dan system organisasi yang kompleks.
  2.  Kejahatan tersebut sangat kompleks ( complexity ) karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan, dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan sebuah ilmiah, tekhnologi, financial, legal, terorganisasikan, dan melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun – tahun.
  3.   Terjadinya penyebaran tanggung jawab ( diffusion of responsibility ) yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi.
  4.  Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization ) seperti polusi dan penipuan.
  5. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution ) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.
  6.   Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law ) yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum.
  7. Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku tindak pidana pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang – undangan tetapi memang perbuatan tersebut illegal.

B. Sebab-sebab Adanya Kejahatan Korporasi
            Keinginan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi, sebagai suatu badan hukum, memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak. Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hokumsehingga tindakan kejahatan korporasi semakin meluas dan tidak dapat dikendalikan. Dengan mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti atas segala kejahatannya terhadap masyarakat. Sementara itu, tuntutan hukum terhadap perilaku buruk korporasi tersebut selalu terabaikan karena tidak ada ketegasan dalam menghadapi masalah ini.
            Pemerintah dan aparat hukum harus mengambil tindakan yang tegas mengenai kejahatan korporasi karena baik disengaja maupun tidak, kejahatan korporasi selalu memberikan dampak yang luas bagi masyarakat dan lingkungan, bahkan dapat mengacaukan perekonomian negara. Jika hukuman dan sanksi yang dijatuhkan kepada korporasi tidak memiliki keberartian, perilaku buruk korporasi dengan melakukan aktivitas yang illegal tidak akan berubah. Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawabnya, dalam hal ini tanggung jawab pidana. Terutama, korporasi akan dibebani oleh lebih banyak tanggung jawab moral dan sosial untuk memperhatikan keadaan dan keamanan lingkungan kerjanya, termasuk penduduk, budaya, dan lingkunganhidup.
Menurut Gobert dan Punch, hal paling utama untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi adalah dengan adanya pengendalian diri dan tanggung jawab sosial dan moral terhadap lingkungan dan masyarakat di mana tanggung jawab tersebut berasal dari korporasi itu sendiri maupun individu-individu di dalamnya.
  Kejahatan korporasi yang lazimnya berbentuk dalam kejahatan kerah putih (white-collar crime), biasanya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang melanggar hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju dapat dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi dapat mencakup tindak pidana seperti pelanggaran undang-undang anti monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan, korupsi, penyuapan,pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan hidup. Kejahatan korporasi tidak hanya dilakukan oleh satu korporasi saja, tetapi dapat dilakukan oelh dua atau lebih korporasi secara bersama-sama. Apabila perbuatan yang dilakukan korporasi, dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana yang merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka korporasi tersebut jelas dapat dipidana. Bercermin dari bentuk-bentuk tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, jika dikaitkan dengan proses pembangunan, maka kita dihadapkan kepada suatu konsekuensi meningkatnya tindak pidana korporasi yang mengancam dan membahayakan berbagai segi kehidupan dimasyarakat. Korporasi, sebagai subjek tindak pidana, dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakan pidana, jika tindakan pidana tersebut dilakukan oleh atauuntuk korporasi maka hukuman dan sanksi dapat dijatuhkan kepada korporasi dan atau individu di dalamnya. Namun demikian perlu diadakan indentifikasi pada individu korporasi misalnya pada direktur, manajer dan karyawan agar tidak terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman secara individual. Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan korporasi, selain karena keberadaan suatu korporasi dianggap penting dalammenunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali juga disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih dianggap merupakan kesalahan yang hanya bersifat administratif daripada suatu kejahatan yang serius. Sebagian besar masyarakat belum dapat memandang kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang nyata walaupun akibat dari kejahatan korporasi lebih merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat dibandingkan dengan kejahatan jalanan. Akibat dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih membahayakan dibandingkan dengan kejaharan yang diperbuat seseorang. Dasar kesalahan perusahaan yang dapat diindikasikan sebagai kejahatan korporasi, terlihat dalam kelalaian, keserampangan, kelicikan, dan kesengajaan atas segala tindakan korporasi. Setiap suatu korporasi dimintai pertangungjawabannya oleh aparat penegak hukum, selalu ada berbagai tekanan baik dari korporasi maupun pemerintah yang akhirnya menghilangkan tuntutan hukum korporasi. Aparat penegak hukum seringkali gagal dalam mengambil tindakan tegasterhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar. Korbannya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang.
Contohnya, terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise yang memakan korban ratusan orang. Selain itu korporasi, dengan kekuatan finansial serta para ahli yang dimiliki, dapat menghilangkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan.Bahkan, dengan dana yang dimiliki, korporasi dapat pula mempengaruhi opini serta wacana di masyarakat, sehingga seolah-olah mereka tidak melakukan suatu kejahatan. Salah satu penyebab utama gagalnya penuntutan dalam suatu perkara yang terdakwanya korporasi adalah karena korporasi tersebut tidak memiliki direktur yang bertanggung jawab atas keselamatan dan tidak memiliki kebijakan yangjelas yang mengatur mengenai keselamatan. Kurangnya koordinasi structural dalam sebuah organisasi dianggap sebagai penyebab terjadinya kejahatan korporasi.
Misalnya pada kasus terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise. Penyebab nyata terbaliknya kapal yang menyebabkan kematian sekitar 200 nyawa ini adalah lemahnya koordinasi di antara para pekerja sebagai akibat tidak adanya kebijakan-kebijakan tentang keselamatan. Laporan mengenai investigasi terbaliknya kapal tersebut menyatakan bahwa tidak ada keraguan kesalahansebenarnya terletak pada korporasi itu sendiri karena tidak memiliki kebijakankebijakan mengenai keselamatan dan gagal untuk memberikan petunjuk keselamatan yang jelas. Kasus ini terutama disebabkan oleh kecerobohan.
               Hukuman atas segala kejahatan korporasi adalah sebuah persoalan politis. Yang terjadi dalam peristiwa politis adalah tawar-menawar yang mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara. Dalam hitungan hak dankewajiban, korporasi dibolehkan menikmati hak-hak yang sangat luas dan menciutkan kewajiban-kewajiban mereka. Kerugian akibat kejahatan korporasi sering sulit dihitung karena akibat yang ditimbulkannya berlipat-lipat, sementarahukuman atau denda pengadilan acap kali tidak mencerminkan tingkat kejahatan mereka Perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan melaluidirektur dan para eksekutif dan perusahaan seharusnya bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan mereka. Namun perusahaan – tidak seperti manusia – tidak dibebani oleh berbagai emosi dan perasaan sehingga dengan mudahnya dapat menutupi perilaku buruknya.
             Terdapat dua model kejahatan korporasi; pertama, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bekerja atau yang berhubungan dengan suatu perusahaan yang dipersalahkan; dan kedua, perusahaan sendiri yang melakukan tindakan kejahatan melalui karyawan-karyawannya. Kejahatan yang terjadi dalam konteks bisnis dilatar belakangi oleh berbagai sebab. Human error yangdipadukan dengan kebijakan yang sesat dan kekeliruan dalam pengambilan keputusan merangsang terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Pada pendekatan di Amerika mengenai vicarious liability menyatakan bahwa bila seorang pegawai korporasi atau agen yang berhubungan dengankorporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk
menguntungkan korporasi dengan melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak peduli apakah perusahaansecara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah perusahaan telah melarang aktivitas tersebut atau tidak. Sedangkan di Inggris, various liability terbatas pada tanggung jawab perusahaan terhadap kejahatan korporasi yang dilakukan oleh seorang yang memiliki kekuasaan yang tinggi (identification). Teori ini menyatakan bahwa korporasi tidak dapat melakukan sesuatu kecuali melalui seorang yang dapat mewakilinya. Bila seorang yang cukup berkuasa dalam struktur korporasi, atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan.
Maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat dimintaipertanggungjawaban secara langsung. Namun, suatu korporasi tidak dapat disalahkan atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi tersebut. Komisi Hukum Inggris telah mengusulkan bahwa terdapat satu kejahatan baru, yaitu pembunuhan oleh korporasi “corporate killing”. Kejahatan ini merupakan suatu species terpisah dari manslaugter yang hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasantentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi.
            Pada era globalisasi ini, perkembangan perusahaan multinasional sangat pesat, bahkan perusahaan tersebut mampu menempatkan diri pada posisi yang sangat strategis untuk memperoleh perlindungan hukum sehingga peradilan dalam negeri sulit untuk mengajukan tuntutan terhadap tindakan mereka yang merugikan. Agar kelemahan perangkat hukum tidak terulang lagi, perlu dibuat aturanpertanggung jawaban korporasi yang komprehensif dan mencakup semua kejahatan. Namun, pada pengadilan atas tindakan kriminalirtas korporasi, keputusan mengenai hukuman dan sanksi, selalu menjadi hal terakhir untukdiputuskan. Setiap tuntuan yang terjadi atas kejahatan korporasi selalu dipersulit sehingga sering tidak dapat direalisasikan. Dengan demikian dapat terlihat bahwahukum pun masih tidak dapat diandalkan untuk menindak lanjuti masalah kejahatan korporasi. Suatu tindakan kejahatan, terjadi karena korporasi tersebut mendapatkankeuntungan dari tindakan kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, agar dapat menghapuskan tindakan kejahatan korporasi, dapat dilakukan dengan mengambil keuntungan yang diperolehnya atas tindakan kriminalitas tersebut. Misalnya dengan membebankan korporasi suatu denda yang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Jika tindakan kriminalitas tidak lagi mengutungkan korporasi, maka ia tidak akan terlibat kembali dalam suatu tindakan kriminal. Namun dalam prakteknya, denda hukum yang dijatuhkan kepada korporasi sekedar dihitung sebagai biaya produksi tanpa sepeserpunmengurangi keuntungan korporasi. Walaupun mengurangi keuntungan, praktek illegal korporasi masih dapat terus berlanjut. Dengan kata lain, denda yang dikenakan kepada korporasi hanya mengubah tindakan kejahatan korporasi dari kesalahan terhadap masyarakat menjadi biaya dalam kegiatan bisnis Publisitas atas keburukan korporasi juga dapat dilakukan sebagai sanksiatas kejahatan korporasi. Namun sayangnya, hal tersebut membawa dampak yang tidak diinginkan. Jika terjadi pemboikotan dari seluruh konsumen terhadap semuaproduk korporasi, maka secara pidana, pengadilan berhasil mengadili korporasi tersebut. Tetapi jika korporasi mengalami kerugiam yang besar, maka korporasi akan mengurangi jumlah karyawannya sehingga akan banyak pekerja yang kehilangan pekerjaannya. Beraneka ragam sanksi yang dikenakan kepada korporasi seperti melaluidenda, kompensasi dan ganti rugi, kerja sosial, pengenaan perbaikan, publisitas keburukan, dan orientasi pengendalian, tidak dapat menghentikan tindakan kejahatan yang dilakukan korporasi. Korporasi dapat lolos dari sanksi-sanksi tersebut dengan mengorbankan pegawai mereka.Sebagaimana vicarious liability dan identification, kejahatan yang dilakukan korporasi juga merupakan tanggung jawab individu-individu di dalammnya. Demikian juga, korporasi bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh individu-individunya. Jika suatu korporasi dikenai suatu hukuman atas kejahatan, kepada siapa hukuman tersebut akan dikenakan? Jawaban yang masuk akal adalah direktur perusahaan. Menurut ‘identification’, tanggung jawabperusahaan sering didasarkan atas kejahatan yang dilakukan direktur atau para eksekutifnya. Sayangnya, hal itu akan terlihat sangat tidak adil bagi direktur yang selalu menjalankan bisnisnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan tanggung jawab terhadap kejahatan korporasi dari direktur, eksekutif, manajer, dan karyawan.Setiap individu harus bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum atas keputusan dan tindakan mereka. Jika seseorang melakukan tindakan kejahatna melalui perusahaan, maka tuntutan hukum seharusnya dikenakanterhadap orang tersebut, bukan terhadap perusahaan, terutama jika tindakan kejahatan tersebut tidak memberikan keuntungan terhadap perusahaan perusahaan.

C. Kejahatan Ekonomi
Kejahatan ekonomi (economic crimes) secara umum dirumuskan sebagai kejahatan yang dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi (crime undertaken for economic motives). Kejahatan ekonomi bisa dilihat secara sempit maupun dalam arti luas. Secara yuridis kejahatan ekonomi dapat dilihat secara sempit sebagai tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Undang-undang No. 7/Drt./ 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Di samping itu kejahatan ekonomi juga dapat dilihat secara luas yaitu semua tindak pidana di luar Undang-undang TPE (UU No. 7 drt. 1955) yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan negara yang sehat (Barda Nawawi Arief, 1992 :152).
Kegiatan di bidang perekonomian dan keuangan negara yang sehat dapat meliputi bidang yang sangat luas dan saling terkait, antara lain dalam bidang usaha perdagangan, industri, dan perbankan. Pengertian dan ruang lingkup kejahatan ekonomi dalam arti luas inilah yang dalam istilah asing biasa disebut dengan istilah economic crimes , crime as business, business crime, abuse of economic power atau economic abuses (Barda Nawawi Arief, 1992 :148).
Dibandingkan dengan kejahatan tradisional yang lain, khususnya kejahatan terhadap harta benda, kejahatan ekonomi mempunyai karakteristik khusus. Kejahatan ekonomi lebih banyak tergantung pada sistem ekonomi dan tingkat pembangunan suatu masyarakat. Dengan demikian sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis ataupun sistem gabungan masing-masing akan memiliki pengaturan tersendiri tentang apa yang dinamakan kejahatan ekonomi.
Berkaitan dengan tindak pidana ekonomi ini Muladi mengemukakan    bahwa yang paling mendasar adalah pemahaman bahwa tindak pidana di bidang perekonomian merupakan bagian dari hukum ekonomi yang berlaku di suatu bangsa, sedangkan hukum ekonomi yang berlaku di suatu negara tidak terlepas dari sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa tersebut (1992 :13)
Kejahatan ekonomi mencakup pula kejahatan korporasi yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi yang diancam dengan sanksi baik sanksi hukum administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana. Kejahatan korporasi tersebut dapat berupa “crime for corporations” atau “ corporate criminal”. Sedangkan “crimes against corporations” lebih bersifat kejahatan okupasional (occupational crime) untuk kepentingan pribadi, misalnya penggelapan uang perusahaan.
Dalam kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit antara legalitas,illegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan bukan “mala in se”. Pelaku sering merasakan dirinya bukan sungguh-sungguh jahat tetapi lebih karena kesialan (unfortunate mistake) atau secara teknis tidak berbuat apa yang diharuskan (technical ommision).Perumusan tindak pidana cenderung akan dianggap sebagai campur tangan pemerintah yang terlalu luas bagi dunia bisnis sehingga dianggap sebagai over criminalization. IstilahWhite Collar Crime (WCC) sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kejahatan kerah putih” atau “kejahatan berdasi”.

1.   KEJAHATAN EKONOMI SEBAGAI WHITE COLLAR CRIME
Istilah WCC ini pertama kali dikemukakan oleh seorang kriminolog Amerika Serikat yang bernama Edwin Hardin Sutherland (1883-1950) di awal dekade 1940-an yang dikemukakan dalam suatu pidato tanggal 27 Desember 1939 pada The American Sociological Society di Philadelphia. Kemudian Sutherland menerbitkan buku yang berjudul White Collar Crime pada Tahun 1949.
Sutherland merumuskan WCC sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime committed by persons of respectability ang high social status in the course of their occupation). Istilah WCC memiliki pesan moral dan politik yang nampak dari dua elemen yaitu status pelaku (status of the offender) dan kedua, kejahatan tersebut berkaitan dengan karakter pekerjaan atau jabatan tertentu (the occupation of character of the offence). Dua elemen inilah yang membedakannya dari Blue Collar Crime. Dalam bukunya yang berjudulWhite Collar Crime Sutherland menjelaskan bahwa istilah WCC ini terutama digunakan untuk menunjuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pengusaha dan pejabatpejabat eksekutif yang merugikan kepentingan umum. Ada beberapa pengelompokan WCC di antaranya adalah sebagai berikut :
pertama, WCC yang bersifat individual, berskala kecil dan modus operandi yang sederhana. Sebagai contoh di Indonesia adalah dalam kasus BLBI, di mana dana yang seharusnya diperuntukan bagi bank miliknya yang sedang kesulitan likuiditas justru untuk kepentingan pribadi. Kedua,.WCC yang bersifat individual, berskala besar dengan modus operandi yang kompleks. WCC seperti ini biasanya memakai pola yang sistematis dengan perencanaan dan pelaksanaan yang bisa memakan waktu yang cukup lama. Ini bisa dalam bentuk berbagai kolusi dengan ahli-ahli tertentu atau dengan orang dalam perusahaan tertentu. Ketiga,WCC yang melibatkan korporasi. Pelaku WCC adakalanya bukan individu tetapi sebuah korporasi sehingga kita mengenal istilah kejahatan korporasi (corporate crime). Dalam hal ini yang Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 44 diangap sebagai pelaku adalah korporasi, sehingga muncul teori-teori hukum yang memberikan justifikasi terhadap pemidanaan suatu korporasi. Sebagai contoh adalah perusahan Ford Motor Company yang pernah diproses pidana di pengadilan negara bagian Indiana Amerika Serikat karena dianggap melakukan tindak pidana pembunuhan, karena sangat terlambat memperbaiki kesalahan dalam tangki bensin dari produk mobilnya yang bernama PINTO, sehingga banyak mobil meledak dan mematikan penumpangnya. Perusahaan enggan memperbaiki atau menarik mobil tersebut dari peredaran karena akan ada cost yang harus dikeluarkan sehingga akan mengurangi keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan mobilnya itu. Konsekuensinya perusahaan tersebut didakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan (corporate crime), meskipun hal tersebut pada akhirnya tidak terbukti di pengadilan. Keempat, WCC di sektor publik, suatu WCC juga dapat terjadi di sektor publik yaitu yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasan publik atau pejabat pemerintah, sehingga dikenal istilah kejahatan jabatan (occupational crime). Sebagai contoh adalah berbagai bentuk korupsi dan penyuapan sehingga terjadi penyalahgunaan kewenangan publik.
Salah satu model WCC di sektor publik adalah kolusi atau konspirasi antara penguasa dan pengusaha yang bisa meliputi berbagai bidang seperti administratif, litigasi, perbankan, dan sebagainya. Para pelaku perbuatan WCC ini sering disebut dengan istilah-istilah seperti White Collar Criminal, Criminaloids, Criminals of the Upper World, Educated Criminals. Menurut Edward Ross yang dimaksudkan dengan criminaloids adalah mereka yang melakukan praktik-praktik kriminal dalam menjalankan tugas/pekerjaannya, tetapi kejahatannya belum disorot oleh publik. Yang menjadi kunci dari criminaloids bukanlah kehendak jahat dari pelaku melainkan moral mereka yang tidak sensitif. Para criminaloidsini bukanlah seperti penjahat jalanan, mereka ini adalah orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dan terhormat di masyarakat. Mereka ini biasanya menggunakan standar ganda, di satu sisi tampak sebagai orang yang selalu berbuat baik tetapi disisi lain menggunakan cara-cara yang tidak etis dalam menjalankan pekerjaan atau profesinya. Kejahatan Perbankan.
Kejahatan perbankan merupakan salah satu bentuk kejahatan WCC. Salah satu perumusan kejahatan perbankan menyebutkan kejahatan perbankan (banking crime) adalah suatu jenis kejahatan yang secara melawan hukum pidana dilakukan baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja, yang ada hubungannya dengan lembaga, perangkat dan produk perbankan sehingga menimbulkan kerugian materiil dan atau imateriil bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya (Munir Fuady, 2004: 74). Perumusan ini sangat luas sehingga kejahatan perbankan dalam konteks ini meliputi lalu-lintas giral; perizinan; rahasia bank; kejahatan oleh komisaris, direksi, atau pegawai bank; perkreditan; penipuan; penggelapan; pemalsuan. Demikian juga modus operandi yang digunakan bisa meliputi pemalsuan dokumen jaminan, barang jaminan untuk memperoleh kredit digunakan beberapa kali, mendapat beberapa kredit untuk proyek yang sama, mendapat kredit dengan Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi (Supriyanta) jaminan fiktif, pemberian kredit atas proyek fiktif, penyimpangan dari perjanjian membuka kredit dan sebagainya.
Penggolongan lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat dikelompokan sebagai tindak pidana yaitu sebagai berikut :tindak pidana umum, misalnya pemalsuan kartu kredit, giro bilyet dan sebagainya; tindak pidana perbankan, misalnya praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan sebagainya. Ada pula yang membagi kejahatan perbankan dalam kategori kejahatan fisik, kejahatan perbankan kategori ini sebenarnya merupakan kejahatan konvensional akan tetapi berhubungan dengan perbankan. Terhadap kejahatan ini berlaku sepenuhnya KUHP misalnya perampokan bank, penipuan dan lain-lain. Kategori kedua, pelanggaran administrasi perbankan. Sebagai lembaga pelayanan publik, maka banyak ketentuan administratif yang harus dipenuhi oleh perbankan, bahkan sebagian di antaranya pelanggaran ketentuan administratif ini dianggap sebagai tindak pidana.Hal ini diatur di dalam Undang-Undang Perbankan yang berlaku. Sebagai contoh adalah bank gelap, tidak memenuhi batas maksimum pemberian kredit dan sebagainya. Kategori ketiga kejahatan produk bank, produk bank sangat beragam, karena itu kejahatan yang berhubungan dengan produk bank juga beraneka ragam, demikian juga ketentuan hukumnya juga beraneka ragam yaitu KUHP, UU Perbankan, dan Undang-undang Khusus lainnya. Sebagai contoh adalah pemberian kredit secara tidak benar misalnya tanpa agunan atau agunan fiktif, pemalsuan warkat bank, pemalsuan kartu kredit, transfer uang kepada yang tidak berhak dan sebagainya. Kategori keempat yaitu kejahatan profesional perbankan yaitu kejahatan perbankan yang berkenaan dengan pelanggaran profesi sebagai bankir. Sebagian pelanggaran ini diatur di dalam Undang-undang yang berlaku, sebagian lainnya hanya merupakan pelanggaran moral yang diatur dalam Kode Etik Bankir Indonesia. Sebagai contoh adalah membuka rahasia bank, tidak melakukan prinsip know your customersehingga meloloskan money laundering. Kategori kelima, Kejahatan Likuiditas Bank Sentral.Bank Sentral dalam hal ini Bank Indonesia merupakan tempat meminjam terakhir (the lender of the last resort). Artinya jika bank-bank mengalami kesulitan likuiditas seperti kalah kliring atau terjadi rush nasabah, maka bank yang bersangkutan bisa meminjam uang sementara kepada Bank Indonesia. Hal ini pernah terjadi di tahun 1998 – 1999 di mana Bank Indonesia mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dikenal dengan (BLBI) kepada sejumlah bank yang sakit, dengan harapan dapat sehat kembali. Namun ternyata banyak terjadi penyalahgunaan dana BLBI tersebut. Kategori keenam adalah pelanggaran moralitas. Selain kejahatan perbankan tersebut ada juga yang sifatnya masih dalam ruang lingkup etika perbankan..Penggolongan lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat dikelompokkan sebagai tindak pidana yaitu tindak pidana umum, misalnya pemalsuan kartu kredit, giro bilyet dan Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 46 sebagainya; tindak pidana perbankan, misalnya praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan sebagainya.
2.   MONEY LAUNDERING (PENCUCIAN UANG)
Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang atau pemutihan uang. Katamoney dalam money laundering diistilahkan secara beragam. Ada yang menyebutnya dengan dirty money, hot money, illegal money atau illicit money. Dalam istilah Indonesia juga disebut secara beragam yaitu, uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap. Istilah money laundering sendiri sudah merupakan istilah yang lazim dipergunakan secara internasional.
Belum ada definisi yang komprehensif  dan universal tentang money laundering, karena berbagai pihak seperti institusi investigasi, kalangan pengusaha, negara-negara dan organisasi lainnya memiliki definisi-definisi sendiri. Secara singkat money launderingadalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan dana secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari dana yang sah. Tidak mudah untuk membuktikan adanya money laundering karena kegiatannya sangat kompleks sekali. Para ahli menggolongkan prosesmoney laundering ke dalam tiga tahap yaitu pertama, tahap placement yaitu menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositokan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan, menggabungkan uang tunai yang bersifat illegal dan uang yang diperoleh secara legal. Bisa juga dalam bentuk mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing. Kedua, tahap layering dengan cara pelapisan (layering). Tujuannya adalah untuk menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya atau asal-usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal-usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing,membeli saham dan sebagainya. Tahap selanjutnya adalah Integrasi, tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas yang untuk selanjutnya uang tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan yang legal. Dengan cara ini maka nampak bahwa kegiatan yang dilakukan kemudian seolah tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan illegal sebelumnya, dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.



Senin, 14 Oktober 2013

Pelanggaran Etika Bisnis Yang Terjadi Pada Era Globalisasi



Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau taetha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati. Etika juga dapat didefi-nisikan sebagai A set of rules thet define right and wrong conducts. Seperangkat aturan atau undang-undang yang menentukan pada prilaku benar dan salah.

 Sedangkan bisnis menurut Hughes dan Kapoor ialah business is the organaized effort of individuals to produce and sell for a profit, the goods and services that satisfy sosiety’s needs. The general term business refers to all such effors within a society or withen and industry. Maksudnya bisnis adalah suatu kegiatan  usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara umum kegiatan ini ada dalam masyarakat dan ada dalam industri.

Dari pengertian diatas maka etika bisnis dapat disimpulkan yaitu aplikasi etika umum yang mengatur prilaku bisnis. Norma moralitas merupakan landasan yang menjadi acuan bisnis dalam prilakunya. Dasar prilaku tidak hanya hukum-hukum ekonomi dan mekanisme pasar saja yang mendorong prilaku bisnis itu tetapi nilai moral dan etika juga menjadi acuan penting yang harus dijadikan landasan kebijakannya.

Pengelolaan bisnis dalam konteks pengelolaan secara etik mesti menggunakan landasan norma dan moralitas umum yang berlaku di masyarakat. Penilaian keberhasilan bisnis tidak saja ditentukan oleh keberhasilan prestasi ekonomi dan finansial semata tetapi keberhasilan itu di ukur dengan tolak ukur paradigma moralitas dan nilai-nilai etika terutama pada moralitas dan etika yang dilandasi oleh nilai-nilai soaial dan agama. Tolak ukur ini harus menjadi bagian yang integral dalam menilai keberhasilan suatu bisnis.

Secara ideal memang diharapkan komitmen aplikasi etika bisnis muncul dari dalam bisnis itu sendiri (para pengelola bisnis) seperti para pemilik, manajer, karyawan dan seluruh perandecision maker di dalam bisnis. Perlu melibatkan peran dan kepentingan stake holders lain yang secar etis harus juga diuntungkan (dalam artian diperlakukan secara adil) oleh pengelola bisnis. Oleh karena itu, etika bisnis diaplikasikan di samping oleh prilaku bisnis itu sendiri sebagai komitmen diri yang memang muncul tuntutan dari dalam bisnis itu sendiri sebagai tuntutan profesionalisme pengelola bisnis. Tetapi juga oleh akibat dan tujuan yang akan diraih oleh lingkungan dan sosial yang ikut serta mendukung tujuan bisnis itu sendiri dalam jangka waktu panjang di masa datang.

Etika bisnis dalam implementasinya akan mengacu pada norma dan moralitas di masyarakat di mana bisnis itu eksis atau beroprasi. Oleh karena itu, secara konseptual implementasi etika bisnis di dalam kegiatan bisnis dapat disusun urut-urutannya bahwa etika didasarkan pada norma dan moralitas. Dasar dari etika tersebut maka etika bisnis mendasarkan pada moralitas dan norma, tetapi juga hukum dan peraturan yang berlaku di masyarakat.

Globalisasi adalah nama dari revolusi dunia yang hampir menyentuh seluruh sendi kehidupan manusia, bahkan menyentuh relung hati yang paling dalam. Dari sisi ekonomi, globalisasi ditandai dengan adanya kapatilisme pasar bebas. “Mahkluk “ inilah yang menjadi tulang punggung globalisasi. Prinsipnya, semakin kita membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan semakin kita membuka perekonomian bagi perdagangan bebas dan kom-petisi, perekonomian anda akan semakin efisien dan berkembang pesat.

Globalisasi dalam dunia bisnis menyebabkan perkembangan ekonomi berkembang dengan pesat. Hal yang terjadi dalam kegiatan ini antara lain tukar menukar, jual beli, memproduksi, memasarkan, dan kegiatan lainnya yang bertujuan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperdulikan etika dan norma berbisnis yang ada. Terjadi demikian dikarenakan adanya persaingan antara perusahan bisnis, baik nasional maupun  multinasional. Perusahaan multinasional ini beroperasi di negara-negara dengan ragam budaya dan standar yang berbeda, banyak klaim yang menyatakan bahwa beberapa perusahaan melanggar norma dan standar yang seharusnya tidak mereka lakukan.

Pelanggaran etika bisnis di era globalisasi ini merupakan hal yang wajar dan biasa saja. Besarnya  perusahaan dan pangsa pasar, tidak menutup kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran etika berbisnis sekalipun telah diawsai dengan ketatnya per-aturan. Banyak pelanggaran etika bisnis yang dilakukan oleh para pembisnis yang tidak bertanggung jawab. Hal ini membuktikan terjadinya persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan untuk menguasai pangsa pasar dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya demi kemajuan perusahaan tanpa memperdulikan etika berbisnis. Menghalalkan segala cara adalah salah satu cara untuk menguasai pangsa pasar dan mencari keuntungan yang besar.  Dengan demikian, untuk mewujudkan bisnis yang menguntungkan dan sehat,  maka etika dan norma bisnis harus dijalankan tanpa harus menghalalkan segla cara bahkan mengorbankan lawan bisnis.

   Bentuk Pelanggaran yang Terjadi Dalam Dunia Bisnis


Suatu kenyataan skarang ini yang kita hadapi dalam masyarakat adalah tentang prilaku menyimpang dari ajaran agama, moral, dan merosotnya etika bisnis. Tumbuh gejala kurangnya rasa solidaritas, tanggung jawab sosial, tingkat kejujuran, saling curiga, dan sulit percaya kepada seorang pengusaha jika berhubungan untuk pertama kali. Kepercayaan baru terbentuk jika sudah terjadi transaksi beberapa kali. Namun ada saja yang mencari peluang untuk menipu, setelah terjadi hubungan dagang yang mulus dan lancar beberapa kali, dan pembayaran lancar kalau sudah saling percaya. Tapi akhirnya yang satu menipu yang lainnya, memanfaatkan kepercayaan yang baru terbentuk.

 Gejala persaingan yang tidak sehat, menggunakan cek mundur dan cek kosong, utang menunggak tidak dibayar, penyogokan, saling mematikan di antara pesaing dengan cara membuat isu negatif terhadap lawan, dan komersialisasi birokrasi tampaknya merupakan hal biasa. Hal yang kurang etis sering pula dilakukan dalam hal memotong relasi saingan. Apabila seseorang mempunyai langganan setia, kemudian oleh lawannya disaingi dengan menawarkan barang dengan harga yang lebih murah, malah kadang-kadang harga rugi. Ini akan berakibat mematikan saingan dan merugikan diri sendiri dan sama sekali tidak etis.



 Pelanggaran etika atau diabaikannya prilaku etis dijumpai diberbagai bidang pada profesi, antara lain terlihat dalam profesi sebagi berikut:



1.      Pada profesi akuntan misalnya membantu sebuah perusahaan dalam keringanan pajak, seperti mengecilkan jumlah penghasilan dan memperbesar pos biaya.

2.           Pelanggaran etika bisnis terhadap hukum adalah sebuah perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan sama sekali tidak memberikan pesongan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

3.          Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas misalnya sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan mendaftar PNS secara otomotis dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola, dalam hal ini direktur, sehingga segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut. Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit.

4.         Manipulasi laporan keuangan PT KAI Dalam kasus tersebut, terdeteksi adanya kecurangan dalam penyajian laporan keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat menyesatkan investor dan stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi.

5.       Skandal Enron, Worldcom dan perusahaan-perusahaan besar di AS Worldcom terlibat rekayasa laporan keuangan milyaran dollar AS. Dalam pembukuannya Worldcom mengumumkan laba sebesar USD 3,8 milyar antara Januari 2001 dan Maret
2002. Hal itu bisa terjadi karena rekayasa akuntansi. Penipuan ini telah menenggelamkan kepercayaan investor terhadap korporasi AS dan menyebabkan harga saham dunia menurun serentak di akhir Juni 2002. Dalam perkembangannya, Scott Sullifan (CFO) dituduh telah melakukan tindakan kriminal di bidang keuangan dengan kemungkinan hukuman 10 tahun penjara. Pada saat itu, para investor memilih untuk menghentikan atau mengurangi aktivitasnya di bursa saham.

6.         Kasus obat anti nyamuk Hit Pada kasus Hit, meskipun perusahaan telah meminta maaf dan berjanji untuk menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker tersebut terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran.

7.             Kasus Baterai laptop Dell Dell akhirnya memutuskan untuk menarik dan mengganti baterai laptop yang bermasalah dengan biaya USD 4,1 juta. Adanya video clip yang menggambarkan bagaimana sebuah note book Dell meledak yang telah beredar di internet membuat perusahaan harus bergerak cepat mengatasi masalah tersebut.

8.               Etika terhadap komunitas masyarakat Tindakan Kejahatan Korporasi PT. Lapindo Brantas (Terhadap Masyarakat dan Lingkungan Hidup di Sidoarjo, Jawa Timur). Telah satu bulan lebih sejak terjadinya kebocoran gas di areal eksplorasi gas PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber ke lahan warga. tak kurang 10 pabrik harus tutup, 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, demikian juga dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas. Perusahaan terkesan lebih mengutamakan penyelamatan asset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan social yang ditimbulkan. Namun Lapindo Brantas akhirnya sepakat untuk membayarkan tuntutan ganti rugi kepada warga korban banjir Lumpur Porong, Sidoarjo. Lapindo akan membayar Rp2,5 juta per meter persegi untuk tanah pekarangan beserta bangunan rumah, dan Rp120.000 per meter persegi untuk sawah yang terendam lumpur.

Sabtu, 27 April 2013

TUGAS 2 SOFTKILL

PERENCANAAN EKONOMI BERSIFAT KAPITALIS

        Perencanaan memaikan peranan yang sangat penting dalam proses ekonomi-bahkan di dalam perekonomian yang didominasi pihak swasta sekalipun, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang di negara kapitalis walaupun secara tidak langsung. Dalam perekonomian tersebut, perencanaan pada umumnya merupakan usaha yang dengan sadar dilakukan pemerintah mencapai pertum-buhan ekonomi dengan tingkat pengerjaan yang tinggi dan harga-harga yang stabil melalui berbagai instrumen kebijaksanaan fiskal dan moneter. 

            Oleh karena sistem mekanisme pasar yang benar-benar bebas dapat mengarah kepada situasi yang sangat tidak stabil yang dicerminkan oleh gejolak yang luar biasa dalam pendapatan dan pengerjaan selama kurun waktu siklus usaha, maka pemerintah berusaha secara aktif untuk menciptakan keadaan yang akan mencegah ketidakstabilan ekonomi tersebut sambil tetap merangsang pertumbuhannya. Alat kebijaksanaan utama yang digunakan adalah terutama kebijaksanaan di bidang moneter, perpajakan, dan hubungan perdagangan luar negeri. 

          Tingkat pengerjaan yang lebih besar dan pendapatan yang lebih tinggi bagi penduduk yang semakin meningkat disebabkan oleh adanya kebijaksanaan ekspansi moneter, peningkatan pengeluaran pemerintah, dan penyesuaian tarif pajak. Inflasi dan deflasi diatasi melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan fiskal, penyesuaian tingkat bunga, dan garis pedoman mengenai harga upah. Gejolak neraca pembayaran dinetralisir melalui penyesuaian tarif, pengendalian devisa, kuota impor serta perangsang pajak. 

         Seluruh alat kebijaksanaan di atas meskipun aktif, tetapi bersifat tidak langsung. Bersifat aktif dalam pengertian bahwa kesemuanya mendorong perekonomian ke arah yang diinginkan. Sedangkan bersifat tidak langsung dalam pengertian bahwa kebijaksanaan tersebut hanya dimaksudkan untuk menciptakan keadaan yang menguntungkan, di mana para pengambil keputusan dari pihak swasta dipengaruhi untuk berperilaku dengan suatu cara yang memungkinkan terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang stabil secara terus menerus. 

        Jadi, kalaupun tidak terdapat rencana ekonomi yang terisi dikebanyakan perekonomian kapitalis dalam arti seperangkat sasaran tertentu yang ditetapkan, tetapi perencanaan pemerintah dilaksanakan dengan dasar analisis trend masa lalu dan proyeksi keadaan ekonomi di masa yang akan datang.



PERENCANAAN EKONOMI BERSIFAT SOSIALIS

            Perencanaan ekonomi dalam perekonomian sosialis dikaitkan terutama dengan perekonomian Uni Sovyet (sebelum negara uni ini bubar) dan perekonomian ala Sovyet di Eropa Timur dan Asia (terutama RRC) di mana pemerintah secara aktif dan langsung mengendalikan gerak perekonomian melalui suatu proses pengambilan keputusan yang terpusat.

            Seperangkat sasaran yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh para perencana pusat merupakan dasar penyusunan rencana ekonomi nasional yang lengkap dan komprehensif. Sumberdaya, baik material maupun finansial, dialokasikan tidak atas dasar harga-harga pasar serta keadaan penawaran dan permintaan sebagaimana dalam perekonomian kapitalis, melainkan dikaitkan dengan kebutuhan akan material, tenaga kerja, dan modal dari rencana keseluruhan. Jadi, perbedaan yang esensial antara perencanaan dalam perekonomian kapitalis dan dalam perekonomian sosialis adalah rangsangan versus pengendalian (inducement versus control).

            Peranan perencanaan dalam perekonomian kapitalis hanya berusaha untuk mencegah agar perekonomian tidak keluar dari lintasan pertumbuhan yang stabil yang diinginkan melalui alat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang aktif namun tidak langsung. Sementara itu peranan perencanaan dalam perekonomian sosialis bukan hanya menetapkan seperangkat sasaran tertentu yang merupakan suatu rangkaian kemajuan ekonomi yang diinginkanakan tetapi juga berusaha melaksanakan rencananya dengan mengendalikan secara langsung kegiatan dari hampir seluruh unit-unit produksi dalam perekonomian secara keseluruhan.

            Dengan kata lain, perekonomian di negara-negara komunis pun tidak ada yang seratus persen direncanakan secara terpusat. Sebagai contoh, di mantan negara Uni Sovyet, aspek ekonomi pasar telah menjadi sesuatu hal yang semakin meningkat dalam produksi, distribusi, dan penetapan harga sejumlah besar barang-barang konsumsi.