Senin, 04 November 2013

Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi dalam Lingkup Kejahatan Ekonomi

A.   Kejahatan Korporasi

1.  Pengertian Kejahatan Korporasi
            Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuataan yang oleh masyarakat dipandang sebagai kegiatan yang tercela, dan terhadap pelakunya dikenakan hukuman (pidana). Sedangkan korporasi adalah suatu badan hukum yang diciptakan oleh hukum itu sendiri dan mempunyai hak dan kewajiban. Jadi, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum yang dapat dikenakan sanksi. Dalam literature sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk White Collar Crime.Dalam arti luas kejahatn korporasi ini sering rancu dengan tindak pidana okupasi, sebab kombinasi antara keduanya sering terjadi.
Menurut Marshaal B. Clinard dan Peter C Yeager sebagaimana dikutip oleh Setiyono dikatakan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bias diberi hukuman oleh Negara, entah di bawah hukum administrasi Negara, hokum perdata maupun hukum pidana.
           Menurut Marshaal B. Clinard kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah putih namun ia tampil dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati kedalam bentuk kejahatan terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga dapat berbentuk korporasi yang merupakan perusahaan keluarga, namun semuanya masih dalam rangkain bentuk kejahatan kerah putih.
           Menurut Sutherland kejahatan kerah putih adalah sebuah perilaku keriminal atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang memiliki keadaan sosio- ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan aktifitas pekerjaannya.
           Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejahatan korporasi pada umumnya dilakukan oleh orang dengan status social yang tinggi dengan memanfaatkan kesempatan dan jabatan tertentu yang dimilikinya. Dengan kadar keahlian yang tinggi dibidang bisnis untuk mendapatkan keuntungan dibidang ekonomi.

2. Karakteristik Kejahatan Korporasi
          Salah satu hal yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional atau tradisional pada umumnya terletak pada karakteristik yang melekat pada kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain :
  1.  Kejahatan tersebut sulit terlihat ( Low visibility ), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang rutin dan normal, melibatkan keahlian professional dan system organisasi yang kompleks.
  2.  Kejahatan tersebut sangat kompleks ( complexity ) karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan, dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan sebuah ilmiah, tekhnologi, financial, legal, terorganisasikan, dan melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun – tahun.
  3.   Terjadinya penyebaran tanggung jawab ( diffusion of responsibility ) yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi.
  4.  Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization ) seperti polusi dan penipuan.
  5. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution ) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.
  6.   Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law ) yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum.
  7. Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku tindak pidana pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang – undangan tetapi memang perbuatan tersebut illegal.

B. Sebab-sebab Adanya Kejahatan Korporasi
            Keinginan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi, sebagai suatu badan hukum, memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak. Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hokumsehingga tindakan kejahatan korporasi semakin meluas dan tidak dapat dikendalikan. Dengan mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti atas segala kejahatannya terhadap masyarakat. Sementara itu, tuntutan hukum terhadap perilaku buruk korporasi tersebut selalu terabaikan karena tidak ada ketegasan dalam menghadapi masalah ini.
            Pemerintah dan aparat hukum harus mengambil tindakan yang tegas mengenai kejahatan korporasi karena baik disengaja maupun tidak, kejahatan korporasi selalu memberikan dampak yang luas bagi masyarakat dan lingkungan, bahkan dapat mengacaukan perekonomian negara. Jika hukuman dan sanksi yang dijatuhkan kepada korporasi tidak memiliki keberartian, perilaku buruk korporasi dengan melakukan aktivitas yang illegal tidak akan berubah. Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawabnya, dalam hal ini tanggung jawab pidana. Terutama, korporasi akan dibebani oleh lebih banyak tanggung jawab moral dan sosial untuk memperhatikan keadaan dan keamanan lingkungan kerjanya, termasuk penduduk, budaya, dan lingkunganhidup.
Menurut Gobert dan Punch, hal paling utama untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi adalah dengan adanya pengendalian diri dan tanggung jawab sosial dan moral terhadap lingkungan dan masyarakat di mana tanggung jawab tersebut berasal dari korporasi itu sendiri maupun individu-individu di dalamnya.
  Kejahatan korporasi yang lazimnya berbentuk dalam kejahatan kerah putih (white-collar crime), biasanya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang melanggar hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju dapat dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi dapat mencakup tindak pidana seperti pelanggaran undang-undang anti monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan, korupsi, penyuapan,pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan hidup. Kejahatan korporasi tidak hanya dilakukan oleh satu korporasi saja, tetapi dapat dilakukan oelh dua atau lebih korporasi secara bersama-sama. Apabila perbuatan yang dilakukan korporasi, dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana yang merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka korporasi tersebut jelas dapat dipidana. Bercermin dari bentuk-bentuk tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, jika dikaitkan dengan proses pembangunan, maka kita dihadapkan kepada suatu konsekuensi meningkatnya tindak pidana korporasi yang mengancam dan membahayakan berbagai segi kehidupan dimasyarakat. Korporasi, sebagai subjek tindak pidana, dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakan pidana, jika tindakan pidana tersebut dilakukan oleh atauuntuk korporasi maka hukuman dan sanksi dapat dijatuhkan kepada korporasi dan atau individu di dalamnya. Namun demikian perlu diadakan indentifikasi pada individu korporasi misalnya pada direktur, manajer dan karyawan agar tidak terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman secara individual. Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan korporasi, selain karena keberadaan suatu korporasi dianggap penting dalammenunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali juga disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih dianggap merupakan kesalahan yang hanya bersifat administratif daripada suatu kejahatan yang serius. Sebagian besar masyarakat belum dapat memandang kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang nyata walaupun akibat dari kejahatan korporasi lebih merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat dibandingkan dengan kejahatan jalanan. Akibat dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih membahayakan dibandingkan dengan kejaharan yang diperbuat seseorang. Dasar kesalahan perusahaan yang dapat diindikasikan sebagai kejahatan korporasi, terlihat dalam kelalaian, keserampangan, kelicikan, dan kesengajaan atas segala tindakan korporasi. Setiap suatu korporasi dimintai pertangungjawabannya oleh aparat penegak hukum, selalu ada berbagai tekanan baik dari korporasi maupun pemerintah yang akhirnya menghilangkan tuntutan hukum korporasi. Aparat penegak hukum seringkali gagal dalam mengambil tindakan tegasterhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar. Korbannya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang.
Contohnya, terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise yang memakan korban ratusan orang. Selain itu korporasi, dengan kekuatan finansial serta para ahli yang dimiliki, dapat menghilangkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan.Bahkan, dengan dana yang dimiliki, korporasi dapat pula mempengaruhi opini serta wacana di masyarakat, sehingga seolah-olah mereka tidak melakukan suatu kejahatan. Salah satu penyebab utama gagalnya penuntutan dalam suatu perkara yang terdakwanya korporasi adalah karena korporasi tersebut tidak memiliki direktur yang bertanggung jawab atas keselamatan dan tidak memiliki kebijakan yangjelas yang mengatur mengenai keselamatan. Kurangnya koordinasi structural dalam sebuah organisasi dianggap sebagai penyebab terjadinya kejahatan korporasi.
Misalnya pada kasus terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise. Penyebab nyata terbaliknya kapal yang menyebabkan kematian sekitar 200 nyawa ini adalah lemahnya koordinasi di antara para pekerja sebagai akibat tidak adanya kebijakan-kebijakan tentang keselamatan. Laporan mengenai investigasi terbaliknya kapal tersebut menyatakan bahwa tidak ada keraguan kesalahansebenarnya terletak pada korporasi itu sendiri karena tidak memiliki kebijakankebijakan mengenai keselamatan dan gagal untuk memberikan petunjuk keselamatan yang jelas. Kasus ini terutama disebabkan oleh kecerobohan.
               Hukuman atas segala kejahatan korporasi adalah sebuah persoalan politis. Yang terjadi dalam peristiwa politis adalah tawar-menawar yang mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara. Dalam hitungan hak dankewajiban, korporasi dibolehkan menikmati hak-hak yang sangat luas dan menciutkan kewajiban-kewajiban mereka. Kerugian akibat kejahatan korporasi sering sulit dihitung karena akibat yang ditimbulkannya berlipat-lipat, sementarahukuman atau denda pengadilan acap kali tidak mencerminkan tingkat kejahatan mereka Perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan melaluidirektur dan para eksekutif dan perusahaan seharusnya bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan mereka. Namun perusahaan – tidak seperti manusia – tidak dibebani oleh berbagai emosi dan perasaan sehingga dengan mudahnya dapat menutupi perilaku buruknya.
             Terdapat dua model kejahatan korporasi; pertama, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bekerja atau yang berhubungan dengan suatu perusahaan yang dipersalahkan; dan kedua, perusahaan sendiri yang melakukan tindakan kejahatan melalui karyawan-karyawannya. Kejahatan yang terjadi dalam konteks bisnis dilatar belakangi oleh berbagai sebab. Human error yangdipadukan dengan kebijakan yang sesat dan kekeliruan dalam pengambilan keputusan merangsang terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Pada pendekatan di Amerika mengenai vicarious liability menyatakan bahwa bila seorang pegawai korporasi atau agen yang berhubungan dengankorporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk
menguntungkan korporasi dengan melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak peduli apakah perusahaansecara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah perusahaan telah melarang aktivitas tersebut atau tidak. Sedangkan di Inggris, various liability terbatas pada tanggung jawab perusahaan terhadap kejahatan korporasi yang dilakukan oleh seorang yang memiliki kekuasaan yang tinggi (identification). Teori ini menyatakan bahwa korporasi tidak dapat melakukan sesuatu kecuali melalui seorang yang dapat mewakilinya. Bila seorang yang cukup berkuasa dalam struktur korporasi, atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan.
Maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat dimintaipertanggungjawaban secara langsung. Namun, suatu korporasi tidak dapat disalahkan atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi tersebut. Komisi Hukum Inggris telah mengusulkan bahwa terdapat satu kejahatan baru, yaitu pembunuhan oleh korporasi “corporate killing”. Kejahatan ini merupakan suatu species terpisah dari manslaugter yang hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasantentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi.
            Pada era globalisasi ini, perkembangan perusahaan multinasional sangat pesat, bahkan perusahaan tersebut mampu menempatkan diri pada posisi yang sangat strategis untuk memperoleh perlindungan hukum sehingga peradilan dalam negeri sulit untuk mengajukan tuntutan terhadap tindakan mereka yang merugikan. Agar kelemahan perangkat hukum tidak terulang lagi, perlu dibuat aturanpertanggung jawaban korporasi yang komprehensif dan mencakup semua kejahatan. Namun, pada pengadilan atas tindakan kriminalirtas korporasi, keputusan mengenai hukuman dan sanksi, selalu menjadi hal terakhir untukdiputuskan. Setiap tuntuan yang terjadi atas kejahatan korporasi selalu dipersulit sehingga sering tidak dapat direalisasikan. Dengan demikian dapat terlihat bahwahukum pun masih tidak dapat diandalkan untuk menindak lanjuti masalah kejahatan korporasi. Suatu tindakan kejahatan, terjadi karena korporasi tersebut mendapatkankeuntungan dari tindakan kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, agar dapat menghapuskan tindakan kejahatan korporasi, dapat dilakukan dengan mengambil keuntungan yang diperolehnya atas tindakan kriminalitas tersebut. Misalnya dengan membebankan korporasi suatu denda yang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Jika tindakan kriminalitas tidak lagi mengutungkan korporasi, maka ia tidak akan terlibat kembali dalam suatu tindakan kriminal. Namun dalam prakteknya, denda hukum yang dijatuhkan kepada korporasi sekedar dihitung sebagai biaya produksi tanpa sepeserpunmengurangi keuntungan korporasi. Walaupun mengurangi keuntungan, praktek illegal korporasi masih dapat terus berlanjut. Dengan kata lain, denda yang dikenakan kepada korporasi hanya mengubah tindakan kejahatan korporasi dari kesalahan terhadap masyarakat menjadi biaya dalam kegiatan bisnis Publisitas atas keburukan korporasi juga dapat dilakukan sebagai sanksiatas kejahatan korporasi. Namun sayangnya, hal tersebut membawa dampak yang tidak diinginkan. Jika terjadi pemboikotan dari seluruh konsumen terhadap semuaproduk korporasi, maka secara pidana, pengadilan berhasil mengadili korporasi tersebut. Tetapi jika korporasi mengalami kerugiam yang besar, maka korporasi akan mengurangi jumlah karyawannya sehingga akan banyak pekerja yang kehilangan pekerjaannya. Beraneka ragam sanksi yang dikenakan kepada korporasi seperti melaluidenda, kompensasi dan ganti rugi, kerja sosial, pengenaan perbaikan, publisitas keburukan, dan orientasi pengendalian, tidak dapat menghentikan tindakan kejahatan yang dilakukan korporasi. Korporasi dapat lolos dari sanksi-sanksi tersebut dengan mengorbankan pegawai mereka.Sebagaimana vicarious liability dan identification, kejahatan yang dilakukan korporasi juga merupakan tanggung jawab individu-individu di dalammnya. Demikian juga, korporasi bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh individu-individunya. Jika suatu korporasi dikenai suatu hukuman atas kejahatan, kepada siapa hukuman tersebut akan dikenakan? Jawaban yang masuk akal adalah direktur perusahaan. Menurut ‘identification’, tanggung jawabperusahaan sering didasarkan atas kejahatan yang dilakukan direktur atau para eksekutifnya. Sayangnya, hal itu akan terlihat sangat tidak adil bagi direktur yang selalu menjalankan bisnisnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan tanggung jawab terhadap kejahatan korporasi dari direktur, eksekutif, manajer, dan karyawan.Setiap individu harus bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum atas keputusan dan tindakan mereka. Jika seseorang melakukan tindakan kejahatna melalui perusahaan, maka tuntutan hukum seharusnya dikenakanterhadap orang tersebut, bukan terhadap perusahaan, terutama jika tindakan kejahatan tersebut tidak memberikan keuntungan terhadap perusahaan perusahaan.

C. Kejahatan Ekonomi
Kejahatan ekonomi (economic crimes) secara umum dirumuskan sebagai kejahatan yang dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi (crime undertaken for economic motives). Kejahatan ekonomi bisa dilihat secara sempit maupun dalam arti luas. Secara yuridis kejahatan ekonomi dapat dilihat secara sempit sebagai tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Undang-undang No. 7/Drt./ 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Di samping itu kejahatan ekonomi juga dapat dilihat secara luas yaitu semua tindak pidana di luar Undang-undang TPE (UU No. 7 drt. 1955) yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan negara yang sehat (Barda Nawawi Arief, 1992 :152).
Kegiatan di bidang perekonomian dan keuangan negara yang sehat dapat meliputi bidang yang sangat luas dan saling terkait, antara lain dalam bidang usaha perdagangan, industri, dan perbankan. Pengertian dan ruang lingkup kejahatan ekonomi dalam arti luas inilah yang dalam istilah asing biasa disebut dengan istilah economic crimes , crime as business, business crime, abuse of economic power atau economic abuses (Barda Nawawi Arief, 1992 :148).
Dibandingkan dengan kejahatan tradisional yang lain, khususnya kejahatan terhadap harta benda, kejahatan ekonomi mempunyai karakteristik khusus. Kejahatan ekonomi lebih banyak tergantung pada sistem ekonomi dan tingkat pembangunan suatu masyarakat. Dengan demikian sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis ataupun sistem gabungan masing-masing akan memiliki pengaturan tersendiri tentang apa yang dinamakan kejahatan ekonomi.
Berkaitan dengan tindak pidana ekonomi ini Muladi mengemukakan    bahwa yang paling mendasar adalah pemahaman bahwa tindak pidana di bidang perekonomian merupakan bagian dari hukum ekonomi yang berlaku di suatu bangsa, sedangkan hukum ekonomi yang berlaku di suatu negara tidak terlepas dari sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa tersebut (1992 :13)
Kejahatan ekonomi mencakup pula kejahatan korporasi yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi yang diancam dengan sanksi baik sanksi hukum administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana. Kejahatan korporasi tersebut dapat berupa “crime for corporations” atau “ corporate criminal”. Sedangkan “crimes against corporations” lebih bersifat kejahatan okupasional (occupational crime) untuk kepentingan pribadi, misalnya penggelapan uang perusahaan.
Dalam kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit antara legalitas,illegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan bukan “mala in se”. Pelaku sering merasakan dirinya bukan sungguh-sungguh jahat tetapi lebih karena kesialan (unfortunate mistake) atau secara teknis tidak berbuat apa yang diharuskan (technical ommision).Perumusan tindak pidana cenderung akan dianggap sebagai campur tangan pemerintah yang terlalu luas bagi dunia bisnis sehingga dianggap sebagai over criminalization. IstilahWhite Collar Crime (WCC) sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kejahatan kerah putih” atau “kejahatan berdasi”.

1.   KEJAHATAN EKONOMI SEBAGAI WHITE COLLAR CRIME
Istilah WCC ini pertama kali dikemukakan oleh seorang kriminolog Amerika Serikat yang bernama Edwin Hardin Sutherland (1883-1950) di awal dekade 1940-an yang dikemukakan dalam suatu pidato tanggal 27 Desember 1939 pada The American Sociological Society di Philadelphia. Kemudian Sutherland menerbitkan buku yang berjudul White Collar Crime pada Tahun 1949.
Sutherland merumuskan WCC sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime committed by persons of respectability ang high social status in the course of their occupation). Istilah WCC memiliki pesan moral dan politik yang nampak dari dua elemen yaitu status pelaku (status of the offender) dan kedua, kejahatan tersebut berkaitan dengan karakter pekerjaan atau jabatan tertentu (the occupation of character of the offence). Dua elemen inilah yang membedakannya dari Blue Collar Crime. Dalam bukunya yang berjudulWhite Collar Crime Sutherland menjelaskan bahwa istilah WCC ini terutama digunakan untuk menunjuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pengusaha dan pejabatpejabat eksekutif yang merugikan kepentingan umum. Ada beberapa pengelompokan WCC di antaranya adalah sebagai berikut :
pertama, WCC yang bersifat individual, berskala kecil dan modus operandi yang sederhana. Sebagai contoh di Indonesia adalah dalam kasus BLBI, di mana dana yang seharusnya diperuntukan bagi bank miliknya yang sedang kesulitan likuiditas justru untuk kepentingan pribadi. Kedua,.WCC yang bersifat individual, berskala besar dengan modus operandi yang kompleks. WCC seperti ini biasanya memakai pola yang sistematis dengan perencanaan dan pelaksanaan yang bisa memakan waktu yang cukup lama. Ini bisa dalam bentuk berbagai kolusi dengan ahli-ahli tertentu atau dengan orang dalam perusahaan tertentu. Ketiga,WCC yang melibatkan korporasi. Pelaku WCC adakalanya bukan individu tetapi sebuah korporasi sehingga kita mengenal istilah kejahatan korporasi (corporate crime). Dalam hal ini yang Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 44 diangap sebagai pelaku adalah korporasi, sehingga muncul teori-teori hukum yang memberikan justifikasi terhadap pemidanaan suatu korporasi. Sebagai contoh adalah perusahan Ford Motor Company yang pernah diproses pidana di pengadilan negara bagian Indiana Amerika Serikat karena dianggap melakukan tindak pidana pembunuhan, karena sangat terlambat memperbaiki kesalahan dalam tangki bensin dari produk mobilnya yang bernama PINTO, sehingga banyak mobil meledak dan mematikan penumpangnya. Perusahaan enggan memperbaiki atau menarik mobil tersebut dari peredaran karena akan ada cost yang harus dikeluarkan sehingga akan mengurangi keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan mobilnya itu. Konsekuensinya perusahaan tersebut didakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan (corporate crime), meskipun hal tersebut pada akhirnya tidak terbukti di pengadilan. Keempat, WCC di sektor publik, suatu WCC juga dapat terjadi di sektor publik yaitu yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasan publik atau pejabat pemerintah, sehingga dikenal istilah kejahatan jabatan (occupational crime). Sebagai contoh adalah berbagai bentuk korupsi dan penyuapan sehingga terjadi penyalahgunaan kewenangan publik.
Salah satu model WCC di sektor publik adalah kolusi atau konspirasi antara penguasa dan pengusaha yang bisa meliputi berbagai bidang seperti administratif, litigasi, perbankan, dan sebagainya. Para pelaku perbuatan WCC ini sering disebut dengan istilah-istilah seperti White Collar Criminal, Criminaloids, Criminals of the Upper World, Educated Criminals. Menurut Edward Ross yang dimaksudkan dengan criminaloids adalah mereka yang melakukan praktik-praktik kriminal dalam menjalankan tugas/pekerjaannya, tetapi kejahatannya belum disorot oleh publik. Yang menjadi kunci dari criminaloids bukanlah kehendak jahat dari pelaku melainkan moral mereka yang tidak sensitif. Para criminaloidsini bukanlah seperti penjahat jalanan, mereka ini adalah orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dan terhormat di masyarakat. Mereka ini biasanya menggunakan standar ganda, di satu sisi tampak sebagai orang yang selalu berbuat baik tetapi disisi lain menggunakan cara-cara yang tidak etis dalam menjalankan pekerjaan atau profesinya. Kejahatan Perbankan.
Kejahatan perbankan merupakan salah satu bentuk kejahatan WCC. Salah satu perumusan kejahatan perbankan menyebutkan kejahatan perbankan (banking crime) adalah suatu jenis kejahatan yang secara melawan hukum pidana dilakukan baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja, yang ada hubungannya dengan lembaga, perangkat dan produk perbankan sehingga menimbulkan kerugian materiil dan atau imateriil bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya (Munir Fuady, 2004: 74). Perumusan ini sangat luas sehingga kejahatan perbankan dalam konteks ini meliputi lalu-lintas giral; perizinan; rahasia bank; kejahatan oleh komisaris, direksi, atau pegawai bank; perkreditan; penipuan; penggelapan; pemalsuan. Demikian juga modus operandi yang digunakan bisa meliputi pemalsuan dokumen jaminan, barang jaminan untuk memperoleh kredit digunakan beberapa kali, mendapat beberapa kredit untuk proyek yang sama, mendapat kredit dengan Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi (Supriyanta) jaminan fiktif, pemberian kredit atas proyek fiktif, penyimpangan dari perjanjian membuka kredit dan sebagainya.
Penggolongan lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat dikelompokan sebagai tindak pidana yaitu sebagai berikut :tindak pidana umum, misalnya pemalsuan kartu kredit, giro bilyet dan sebagainya; tindak pidana perbankan, misalnya praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan sebagainya. Ada pula yang membagi kejahatan perbankan dalam kategori kejahatan fisik, kejahatan perbankan kategori ini sebenarnya merupakan kejahatan konvensional akan tetapi berhubungan dengan perbankan. Terhadap kejahatan ini berlaku sepenuhnya KUHP misalnya perampokan bank, penipuan dan lain-lain. Kategori kedua, pelanggaran administrasi perbankan. Sebagai lembaga pelayanan publik, maka banyak ketentuan administratif yang harus dipenuhi oleh perbankan, bahkan sebagian di antaranya pelanggaran ketentuan administratif ini dianggap sebagai tindak pidana.Hal ini diatur di dalam Undang-Undang Perbankan yang berlaku. Sebagai contoh adalah bank gelap, tidak memenuhi batas maksimum pemberian kredit dan sebagainya. Kategori ketiga kejahatan produk bank, produk bank sangat beragam, karena itu kejahatan yang berhubungan dengan produk bank juga beraneka ragam, demikian juga ketentuan hukumnya juga beraneka ragam yaitu KUHP, UU Perbankan, dan Undang-undang Khusus lainnya. Sebagai contoh adalah pemberian kredit secara tidak benar misalnya tanpa agunan atau agunan fiktif, pemalsuan warkat bank, pemalsuan kartu kredit, transfer uang kepada yang tidak berhak dan sebagainya. Kategori keempat yaitu kejahatan profesional perbankan yaitu kejahatan perbankan yang berkenaan dengan pelanggaran profesi sebagai bankir. Sebagian pelanggaran ini diatur di dalam Undang-undang yang berlaku, sebagian lainnya hanya merupakan pelanggaran moral yang diatur dalam Kode Etik Bankir Indonesia. Sebagai contoh adalah membuka rahasia bank, tidak melakukan prinsip know your customersehingga meloloskan money laundering. Kategori kelima, Kejahatan Likuiditas Bank Sentral.Bank Sentral dalam hal ini Bank Indonesia merupakan tempat meminjam terakhir (the lender of the last resort). Artinya jika bank-bank mengalami kesulitan likuiditas seperti kalah kliring atau terjadi rush nasabah, maka bank yang bersangkutan bisa meminjam uang sementara kepada Bank Indonesia. Hal ini pernah terjadi di tahun 1998 – 1999 di mana Bank Indonesia mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dikenal dengan (BLBI) kepada sejumlah bank yang sakit, dengan harapan dapat sehat kembali. Namun ternyata banyak terjadi penyalahgunaan dana BLBI tersebut. Kategori keenam adalah pelanggaran moralitas. Selain kejahatan perbankan tersebut ada juga yang sifatnya masih dalam ruang lingkup etika perbankan..Penggolongan lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat dikelompokkan sebagai tindak pidana yaitu tindak pidana umum, misalnya pemalsuan kartu kredit, giro bilyet dan Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 46 sebagainya; tindak pidana perbankan, misalnya praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan sebagainya.
2.   MONEY LAUNDERING (PENCUCIAN UANG)
Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang atau pemutihan uang. Katamoney dalam money laundering diistilahkan secara beragam. Ada yang menyebutnya dengan dirty money, hot money, illegal money atau illicit money. Dalam istilah Indonesia juga disebut secara beragam yaitu, uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap. Istilah money laundering sendiri sudah merupakan istilah yang lazim dipergunakan secara internasional.
Belum ada definisi yang komprehensif  dan universal tentang money laundering, karena berbagai pihak seperti institusi investigasi, kalangan pengusaha, negara-negara dan organisasi lainnya memiliki definisi-definisi sendiri. Secara singkat money launderingadalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan dana secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari dana yang sah. Tidak mudah untuk membuktikan adanya money laundering karena kegiatannya sangat kompleks sekali. Para ahli menggolongkan prosesmoney laundering ke dalam tiga tahap yaitu pertama, tahap placement yaitu menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositokan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan, menggabungkan uang tunai yang bersifat illegal dan uang yang diperoleh secara legal. Bisa juga dalam bentuk mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing. Kedua, tahap layering dengan cara pelapisan (layering). Tujuannya adalah untuk menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya atau asal-usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal-usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing,membeli saham dan sebagainya. Tahap selanjutnya adalah Integrasi, tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas yang untuk selanjutnya uang tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan yang legal. Dengan cara ini maka nampak bahwa kegiatan yang dilakukan kemudian seolah tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan illegal sebelumnya, dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar