A. Kejahatan
Korporasi
1. Pengertian
Kejahatan Korporasi
Kejahatan diartikan sebagai suatu
perbuataan yang oleh masyarakat dipandang sebagai kegiatan yang tercela, dan
terhadap pelakunya dikenakan hukuman (pidana). Sedangkan korporasi adalah suatu
badan hukum yang diciptakan oleh hukum itu sendiri dan mempunyai hak dan
kewajiban. Jadi, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh badan
hukum yang dapat dikenakan sanksi. Dalam literature sering dikatakan bahwa
kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk White Collar Crime.Dalam
arti luas kejahatn korporasi ini sering rancu dengan tindak pidana okupasi,
sebab kombinasi antara keduanya sering terjadi.
Menurut
Marshaal B. Clinard dan Peter C Yeager sebagaimana dikutip oleh Setiyono
dikatakan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bias diberi
hukuman oleh Negara, entah di bawah hukum administrasi Negara, hokum perdata
maupun hukum pidana.
Menurut
Marshaal B. Clinard kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah putih
namun ia tampil dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati kedalam
bentuk kejahatan terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks dan
mendalam antara seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga
dapat berbentuk korporasi yang merupakan perusahaan keluarga, namun semuanya
masih dalam rangkain bentuk kejahatan kerah putih.
Menurut
Sutherland kejahatan kerah putih adalah sebuah perilaku keriminal atau
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang
memiliki keadaan sosio- ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan
aktifitas pekerjaannya.
Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejahatan korporasi pada umumnya
dilakukan oleh orang dengan status social yang tinggi dengan memanfaatkan
kesempatan dan jabatan tertentu yang dimilikinya. Dengan kadar keahlian yang
tinggi dibidang bisnis untuk mendapatkan keuntungan dibidang ekonomi.
2. Karakteristik
Kejahatan Korporasi
Salah
satu hal yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan
konvensional atau tradisional pada umumnya terletak pada karakteristik yang
melekat pada kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain :
- Kejahatan tersebut sulit terlihat ( Low visibility ), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang rutin dan normal, melibatkan keahlian professional dan system organisasi yang kompleks.
- Kejahatan tersebut sangat kompleks ( complexity ) karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan, dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan sebuah ilmiah, tekhnologi, financial, legal, terorganisasikan, dan melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun – tahun.
- Terjadinya penyebaran tanggung jawab ( diffusion of responsibility ) yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi.
- Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization ) seperti polusi dan penipuan.
- Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution ) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.
- Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law ) yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum.
- Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku tindak pidana pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang – undangan tetapi memang perbuatan tersebut illegal.
B. Sebab-sebab
Adanya Kejahatan Korporasi
Keinginan
korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya
mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi, sebagai
suatu badan hukum, memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktivitasnya
sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan
hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak. Walaupun
demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hokumsehingga tindakan
kejahatan korporasi semakin meluas dan tidak dapat dikendalikan. Dengan
mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti atas segala kejahatannya
terhadap masyarakat. Sementara itu, tuntutan hukum terhadap perilaku buruk
korporasi tersebut selalu terabaikan karena tidak ada ketegasan dalam
menghadapi masalah ini.
Pemerintah
dan aparat hukum harus mengambil tindakan yang tegas mengenai kejahatan
korporasi karena baik disengaja maupun tidak, kejahatan korporasi selalu
memberikan dampak yang luas bagi masyarakat dan lingkungan, bahkan dapat
mengacaukan perekonomian negara. Jika hukuman dan sanksi yang dijatuhkan
kepada korporasi tidak memiliki keberartian, perilaku buruk korporasi dengan
melakukan aktivitas yang illegal tidak akan berubah. Korporasi diharapkan
tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawabnya, dalam hal ini tanggung
jawab pidana. Terutama, korporasi akan dibebani oleh lebih banyak tanggung
jawab moral dan sosial untuk memperhatikan keadaan dan keamanan lingkungan
kerjanya, termasuk penduduk, budaya, dan lingkunganhidup.
Menurut
Gobert dan Punch, hal paling utama untuk mencegah terjadinya kejahatan
korporasi adalah dengan adanya pengendalian diri dan tanggung jawab sosial
dan moral terhadap lingkungan dan masyarakat di mana tanggung jawab tersebut
berasal dari korporasi itu sendiri maupun individu-individu di dalamnya.
Kejahatan
korporasi yang lazimnya berbentuk dalam kejahatan kerah putih
(white-collar crime), biasanya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum
yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang melanggar
hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju dapat
dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi dapat mencakup
tindak pidana seperti pelanggaran undang-undang anti monopoli, penipuan
melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga,
produksi barang yang membahayakan kesehatan, korupsi, penyuapan,pelanggaran
administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan hidup. Kejahatan
korporasi tidak hanya dilakukan oleh satu korporasi saja, tetapi dapat dilakukan
oelh dua atau lebih korporasi secara bersama-sama. Apabila perbuatan yang
dilakukan korporasi, dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di
bidang hukum pidana yang merumuskan korporasi sebagai subjek tindak
pidana, maka korporasi tersebut jelas dapat dipidana. Bercermin dari
bentuk-bentuk tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan oleh
korporasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, jika dikaitkan dengan proses pembangunan,
maka kita dihadapkan kepada suatu konsekuensi meningkatnya tindak pidana
korporasi yang mengancam dan membahayakan berbagai segi kehidupan dimasyarakat. Korporasi,
sebagai subjek tindak pidana, dapat dimintai pertanggung jawaban atas
tindakan pidana, jika tindakan pidana tersebut dilakukan oleh atauuntuk
korporasi maka hukuman dan sanksi dapat dijatuhkan kepada korporasi dan atau
individu di dalamnya. Namun demikian perlu diadakan indentifikasi pada individu
korporasi misalnya pada direktur, manajer dan karyawan agar tidak terjadi
kesalahan dalam penjatuhan hukuman secara individual. Tidak bekerjanya
hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan korporasi, selain karena
keberadaan suatu korporasi dianggap penting dalammenunjang pertumbuhan atau
stabilitas perekonomian nasional, sering kali juga disebabkan oleh
perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.
Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih dianggap merupakan kesalahan
yang hanya bersifat administratif daripada suatu kejahatan yang serius.
Sebagian besar masyarakat belum dapat memandang kejahatan korporasi
sebagai kejahatan yang nyata walaupun akibat dari kejahatan korporasi lebih
merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat dibandingkan dengan kejahatan
jalanan. Akibat dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih membahayakan dibandingkan
dengan kejaharan yang diperbuat seseorang. Dasar kesalahan perusahaan yang
dapat diindikasikan sebagai kejahatan korporasi, terlihat dalam kelalaian,
keserampangan, kelicikan, dan kesengajaan atas segala tindakan korporasi.
Setiap suatu korporasi dimintai pertangungjawabannya oleh aparat penegak
hukum, selalu ada berbagai tekanan baik dari korporasi maupun pemerintah
yang akhirnya menghilangkan tuntutan hukum korporasi. Aparat penegak hukum
seringkali gagal dalam mengambil tindakan tegasterhadap berbagai kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena dampak
kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar. Korbannya bisa
berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang.
Contohnya,
terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise yang memakan korban
ratusan orang. Selain itu korporasi, dengan kekuatan finansial serta para ahli
yang dimiliki, dapat menghilangkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan.Bahkan,
dengan dana yang dimiliki, korporasi dapat pula mempengaruhi opini serta
wacana di masyarakat, sehingga seolah-olah mereka tidak melakukan suatu kejahatan.
Salah satu penyebab utama gagalnya penuntutan dalam suatu perkara yang terdakwanya
korporasi adalah karena korporasi tersebut tidak memiliki direktur yang
bertanggung jawab atas keselamatan dan tidak memiliki kebijakan yangjelas yang
mengatur mengenai keselamatan. Kurangnya koordinasi structural dalam
sebuah organisasi dianggap sebagai penyebab terjadinya kejahatan korporasi.
Misalnya
pada kasus terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise. Penyebab nyata
terbaliknya kapal yang menyebabkan kematian sekitar 200 nyawa ini adalah
lemahnya koordinasi di antara para pekerja sebagai akibat tidak adanya kebijakan-kebijakan
tentang keselamatan. Laporan mengenai investigasi terbaliknya kapal
tersebut menyatakan bahwa tidak ada keraguan kesalahansebenarnya terletak pada
korporasi itu sendiri karena tidak memiliki kebijakankebijakan mengenai
keselamatan dan gagal untuk memberikan petunjuk keselamatan yang jelas.
Kasus ini terutama disebabkan oleh kecerobohan.
Hukuman
atas segala kejahatan korporasi adalah sebuah persoalan politis. Yang
terjadi dalam peristiwa politis adalah tawar-menawar yang mencari keseimbangan
antara hak dan kewajiban warga negara. Dalam hitungan hak dankewajiban,
korporasi dibolehkan menikmati hak-hak yang sangat luas dan menciutkan
kewajiban-kewajiban mereka. Kerugian akibat kejahatan korporasi sering
sulit dihitung karena akibat yang ditimbulkannya berlipat-lipat,
sementarahukuman atau denda pengadilan acap kali tidak mencerminkan tingkat
kejahatan mereka Perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan
kebijakan melaluidirektur dan para eksekutif dan perusahaan seharusnya
bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan mereka. Namun perusahaan –
tidak seperti manusia – tidak dibebani oleh berbagai emosi dan perasaan
sehingga dengan mudahnya dapat menutupi perilaku buruknya.
Terdapat
dua model kejahatan korporasi; pertama, kejahatan yang dilakukan oleh
orang yang bekerja atau yang berhubungan dengan suatu perusahaan yang
dipersalahkan; dan kedua, perusahaan sendiri yang melakukan tindakan kejahatan
melalui karyawan-karyawannya. Kejahatan yang terjadi dalam konteks bisnis
dilatar belakangi oleh berbagai sebab. Human error yangdipadukan dengan
kebijakan yang sesat dan kekeliruan dalam pengambilan keputusan merangsang
terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Pada pendekatan di Amerika mengenai
vicarious liability menyatakan bahwa bila seorang pegawai korporasi atau
agen yang berhubungan dengankorporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan
dengan maksud untuk
menguntungkan
korporasi dengan melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat
dibebankan kepada perusahaan. Tidak peduli apakah perusahaansecara nyata
memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah perusahaan telah melarang
aktivitas tersebut atau tidak. Sedangkan di Inggris, various liability
terbatas pada tanggung jawab perusahaan terhadap kejahatan korporasi yang
dilakukan oleh seorang yang memiliki kekuasaan yang tinggi
(identification). Teori ini menyatakan bahwa korporasi tidak dapat
melakukan sesuatu kecuali melalui seorang yang dapat mewakilinya. Bila seorang
yang cukup berkuasa dalam struktur korporasi, atau dapat mewakili
korporasi melakukan suatu kejahatan.
Maka
perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi
dapat dimintaipertanggungjawaban secara langsung. Namun, suatu korporasi
tidak dapat disalahkan atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang
yang berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi tersebut. Komisi
Hukum Inggris telah mengusulkan bahwa terdapat satu kejahatan baru, yaitu
pembunuhan oleh korporasi “corporate killing”. Kejahatan ini merupakan suatu
species terpisah dari manslaugter yang hanya dapat dilakukan oleh
korporasi. Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasantentang
kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat
diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada
korporasi.
Pada
era globalisasi ini, perkembangan perusahaan multinasional sangat pesat,
bahkan perusahaan tersebut mampu menempatkan diri pada posisi yang sangat
strategis untuk memperoleh perlindungan hukum sehingga peradilan dalam negeri
sulit untuk mengajukan tuntutan terhadap tindakan mereka yang merugikan. Agar
kelemahan perangkat hukum tidak terulang lagi, perlu dibuat aturanpertanggung
jawaban korporasi yang komprehensif dan mencakup semua kejahatan. Namun,
pada pengadilan atas tindakan kriminalirtas korporasi, keputusan mengenai
hukuman dan sanksi, selalu menjadi hal terakhir untukdiputuskan. Setiap tuntuan
yang terjadi atas kejahatan korporasi selalu dipersulit sehingga sering
tidak dapat direalisasikan. Dengan demikian dapat terlihat bahwahukum pun masih
tidak dapat diandalkan untuk menindak lanjuti masalah kejahatan korporasi. Suatu
tindakan kejahatan, terjadi karena korporasi tersebut mendapatkankeuntungan
dari tindakan kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, agar dapat
menghapuskan tindakan kejahatan korporasi, dapat dilakukan dengan mengambil
keuntungan yang diperolehnya atas tindakan kriminalitas tersebut. Misalnya
dengan membebankan korporasi suatu denda yang lebih besar dibandingkan
dengan keuntungan yang diperoleh. Jika tindakan kriminalitas tidak lagi
mengutungkan korporasi, maka ia tidak akan terlibat kembali dalam suatu tindakan
kriminal. Namun dalam prakteknya, denda hukum yang dijatuhkan kepada
korporasi sekedar dihitung sebagai biaya produksi tanpa sepeserpunmengurangi
keuntungan korporasi. Walaupun mengurangi keuntungan, praktek illegal
korporasi masih dapat terus berlanjut. Dengan kata lain, denda yang dikenakan
kepada korporasi hanya mengubah tindakan kejahatan korporasi dari kesalahan
terhadap masyarakat menjadi biaya dalam kegiatan bisnis Publisitas atas
keburukan korporasi juga dapat dilakukan sebagai sanksiatas kejahatan
korporasi. Namun sayangnya, hal tersebut membawa dampak yang tidak
diinginkan. Jika terjadi pemboikotan dari seluruh konsumen terhadap semuaproduk
korporasi, maka secara pidana, pengadilan berhasil mengadili korporasi tersebut.
Tetapi jika korporasi mengalami kerugiam yang besar, maka korporasi akan
mengurangi jumlah karyawannya sehingga akan banyak pekerja yang kehilangan
pekerjaannya. Beraneka ragam sanksi yang dikenakan kepada korporasi
seperti melaluidenda, kompensasi dan ganti rugi, kerja sosial, pengenaan
perbaikan, publisitas keburukan, dan orientasi pengendalian, tidak dapat
menghentikan tindakan kejahatan yang dilakukan korporasi. Korporasi dapat
lolos dari sanksi-sanksi tersebut dengan mengorbankan pegawai
mereka.Sebagaimana vicarious liability dan identification, kejahatan yang dilakukan
korporasi juga merupakan tanggung jawab individu-individu di dalammnya.
Demikian juga, korporasi bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan
oleh individu-individunya. Jika suatu korporasi dikenai suatu hukuman atas
kejahatan, kepada siapa hukuman tersebut akan dikenakan? Jawaban yang masuk
akal adalah direktur perusahaan. Menurut ‘identification’, tanggung
jawabperusahaan sering didasarkan atas kejahatan yang dilakukan direktur
atau para eksekutifnya. Sayangnya, hal itu akan terlihat sangat tidak adil bagi
direktur yang selalu menjalankan bisnisnya sesuai dengan hukum yang
berlaku. Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan tanggung jawab
terhadap kejahatan korporasi dari direktur, eksekutif, manajer, dan
karyawan.Setiap individu harus bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum
atas keputusan dan tindakan mereka. Jika seseorang melakukan tindakan kejahatna
melalui perusahaan, maka tuntutan hukum seharusnya dikenakanterhadap orang
tersebut, bukan terhadap perusahaan, terutama jika tindakan kejahatan
tersebut tidak memberikan keuntungan terhadap perusahaan perusahaan.
C. Kejahatan Ekonomi
Kejahatan
ekonomi (economic crimes) secara umum dirumuskan sebagai kejahatan
yang dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi (crime undertaken
for economic motives). Kejahatan ekonomi bisa dilihat secara sempit maupun dalam
arti luas. Secara yuridis kejahatan ekonomi dapat dilihat secara sempit sebagai
tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Undang-undang No. 7/Drt./ 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Di samping itu
kejahatan ekonomi juga dapat dilihat secara luas yaitu semua tindak pidana di
luar Undang-undang TPE (UU No. 7 drt. 1955) yang bercorak atau bermotif ekonomi
atau yang dapat mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan
keuangan negara yang sehat (Barda Nawawi Arief, 1992 :152).
Kegiatan
di bidang perekonomian dan keuangan negara yang sehat dapat meliputi bidang
yang sangat luas dan saling terkait, antara lain dalam bidang usaha
perdagangan, industri, dan perbankan. Pengertian dan ruang lingkup kejahatan ekonomi
dalam arti luas inilah yang dalam istilah asing biasa disebut dengan istilah economic
crimes , crime as business, business crime, abuse of economic power atau
economic abuses (Barda Nawawi Arief, 1992 :148).
Dibandingkan
dengan kejahatan tradisional yang lain, khususnya kejahatan terhadap harta
benda, kejahatan ekonomi mempunyai karakteristik khusus. Kejahatan ekonomi
lebih banyak tergantung pada sistem ekonomi dan tingkat pembangunan suatu
masyarakat. Dengan demikian sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi
sosialis ataupun sistem gabungan masing-masing akan memiliki pengaturan
tersendiri tentang apa yang dinamakan kejahatan ekonomi.
Berkaitan
dengan tindak pidana ekonomi ini Muladi mengemukakan bahwa
yang paling mendasar adalah pemahaman bahwa tindak pidana di bidang
perekonomian merupakan bagian dari hukum ekonomi yang berlaku di suatu bangsa,
sedangkan hukum ekonomi yang berlaku di suatu negara tidak terlepas dari sistem
ekonomi yang dianut oleh bangsa tersebut (1992 :13)
Kejahatan
ekonomi mencakup pula kejahatan korporasi yaitu setiap perbuatan yang dilakukan
oleh korporasi yang diancam dengan sanksi baik sanksi hukum administrasi, hukum
perdata maupun hukum pidana. Kejahatan korporasi tersebut dapat berupa “crime
for corporations” atau “ corporate criminal”. Sedangkan “crimes
against corporations” lebih bersifat kejahatan okupasional (occupational
crime) untuk kepentingan pribadi, misalnya penggelapan uang perusahaan.
Dalam
kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit antara legalitas,illegalitas dan
kriminalitas (mala prohibita) dan bukan “mala in se”. Pelaku
sering merasakan dirinya bukan sungguh-sungguh jahat tetapi lebih karena
kesialan (unfortunate mistake) atau secara teknis tidak berbuat apa
yang diharuskan (technical ommision).Perumusan tindak pidana cenderung
akan dianggap sebagai campur tangan pemerintah yang terlalu luas bagi dunia
bisnis sehingga dianggap sebagai over criminalization. IstilahWhite
Collar Crime (WCC) sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai
“kejahatan kerah putih” atau “kejahatan berdasi”.
1. KEJAHATAN
EKONOMI SEBAGAI WHITE COLLAR CRIME
Istilah WCC ini
pertama kali dikemukakan oleh seorang kriminolog Amerika Serikat yang bernama Edwin
Hardin Sutherland (1883-1950) di awal dekade 1940-an yang dikemukakan
dalam suatu pidato tanggal 27 Desember 1939 pada The American Sociological Society di
Philadelphia. Kemudian Sutherland menerbitkan buku yang berjudul White
Collar Crime pada Tahun 1949.
Sutherland
merumuskan WCC sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime
committed by persons of respectability ang high social status in the
course of their occupation). Istilah WCC memiliki pesan moral dan politik yang
nampak dari dua elemen yaitu status pelaku (status of the offender) dan kedua,
kejahatan tersebut berkaitan dengan karakter pekerjaan atau jabatan tertentu (the occupation
of character of the offence). Dua elemen inilah yang membedakannya dari Blue
Collar Crime. Dalam bukunya yang berjudulWhite Collar Crime Sutherland
menjelaskan bahwa istilah WCC ini terutama digunakan untuk menunjuk
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pengusaha dan pejabatpejabat
eksekutif yang merugikan kepentingan umum. Ada beberapa pengelompokan WCC di
antaranya adalah sebagai berikut :
pertama, WCC yang
bersifat individual, berskala kecil dan modus operandi yang sederhana. Sebagai
contoh di Indonesia adalah dalam kasus BLBI, di mana dana yang seharusnya
diperuntukan bagi bank miliknya yang sedang kesulitan likuiditas justru untuk
kepentingan pribadi. Kedua,.WCC yang bersifat individual, berskala besar
dengan modus operandi yang kompleks. WCC seperti ini biasanya memakai
pola yang sistematis dengan perencanaan dan pelaksanaan yang bisa memakan waktu
yang cukup lama. Ini bisa dalam bentuk berbagai kolusi dengan ahli-ahli tertentu
atau dengan orang dalam perusahaan tertentu. Ketiga,WCC yang melibatkan
korporasi. Pelaku WCC adakalanya bukan individu tetapi sebuah
korporasi sehingga kita mengenal istilah kejahatan korporasi (corporate
crime). Dalam hal ini yang Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1,
April 2007 : 42 – 52 44 diangap sebagai pelaku adalah korporasi, sehingga
muncul teori-teori hukum yang memberikan justifikasi terhadap pemidanaan suatu
korporasi. Sebagai contoh adalah perusahan Ford Motor Company yang pernah
diproses pidana di pengadilan negara bagian Indiana Amerika Serikat karena
dianggap melakukan tindak pidana pembunuhan, karena sangat terlambat
memperbaiki kesalahan dalam tangki bensin dari produk mobilnya yang bernama PINTO, sehingga
banyak mobil meledak dan mematikan penumpangnya. Perusahaan enggan memperbaiki
atau menarik mobil tersebut dari peredaran karena akan ada cost yang
harus dikeluarkan sehingga akan mengurangi keuntungan yang diperoleh dari hasil
penjualan mobilnya itu. Konsekuensinya perusahaan tersebut didakwa telah
melakukan tindak pidana pembunuhan (corporate crime), meskipun hal tersebut
pada akhirnya tidak terbukti di pengadilan. Keempat, WCC di sektor
publik, suatu WCC juga dapat terjadi di sektor publik yaitu yang
melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasan publik atau pejabat pemerintah,
sehingga dikenal istilah kejahatan jabatan (occupational crime). Sebagai contoh
adalah berbagai bentuk korupsi dan penyuapan sehingga terjadi penyalahgunaan
kewenangan publik.
Salah
satu model WCC di sektor publik adalah kolusi atau konspirasi antara
penguasa dan pengusaha yang bisa meliputi berbagai bidang seperti
administratif, litigasi, perbankan, dan sebagainya. Para pelaku perbuatan WCC ini
sering disebut dengan istilah-istilah seperti White Collar Criminal,
Criminaloids, Criminals of the Upper World, Educated Criminals. Menurut Edward
Ross yang dimaksudkan dengan criminaloids adalah mereka yang
melakukan praktik-praktik kriminal dalam menjalankan tugas/pekerjaannya, tetapi
kejahatannya belum disorot oleh publik. Yang menjadi kunci dari criminaloids bukanlah
kehendak jahat dari pelaku melainkan moral mereka yang tidak sensitif. Para criminaloidsini
bukanlah seperti penjahat jalanan, mereka ini adalah orang-orang yang memiliki
jabatan tinggi dan terhormat di masyarakat. Mereka ini biasanya menggunakan
standar ganda, di satu sisi tampak sebagai orang yang selalu berbuat baik
tetapi disisi lain menggunakan cara-cara yang tidak etis dalam menjalankan
pekerjaan atau profesinya. Kejahatan Perbankan.
Kejahatan
perbankan merupakan salah satu bentuk kejahatan WCC. Salah satu
perumusan kejahatan perbankan menyebutkan kejahatan perbankan (banking crime) adalah
suatu jenis kejahatan yang secara melawan hukum pidana dilakukan baik dengan
sengaja ataupun dengan tidak sengaja, yang ada hubungannya dengan lembaga,
perangkat dan produk perbankan sehingga menimbulkan kerugian materiil dan atau
imateriil bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga
lainnya (Munir Fuady, 2004: 74). Perumusan ini sangat luas sehingga kejahatan
perbankan dalam konteks ini meliputi lalu-lintas giral; perizinan; rahasia
bank; kejahatan oleh komisaris, direksi, atau pegawai bank; perkreditan;
penipuan; penggelapan; pemalsuan. Demikian juga modus operandi yang digunakan
bisa meliputi pemalsuan dokumen jaminan, barang jaminan untuk memperoleh kredit
digunakan beberapa kali, mendapat beberapa kredit untuk proyek yang sama,
mendapat kredit dengan Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi (Supriyanta) jaminan
fiktif, pemberian kredit atas proyek fiktif, penyimpangan dari perjanjian
membuka kredit dan sebagainya.
Penggolongan
lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat dikelompokan sebagai
tindak pidana yaitu sebagai berikut :tindak pidana umum, misalnya pemalsuan
kartu kredit, giro bilyet dan sebagainya; tindak pidana perbankan, misalnya
praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas Bank
Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan
sebagainya. Ada pula yang membagi kejahatan perbankan dalam kategori kejahatan
fisik, kejahatan perbankan kategori ini sebenarnya merupakan kejahatan
konvensional akan tetapi berhubungan dengan perbankan. Terhadap kejahatan ini
berlaku sepenuhnya KUHP misalnya perampokan bank, penipuan dan lain-lain.
Kategori kedua, pelanggaran administrasi perbankan. Sebagai lembaga pelayanan
publik, maka banyak ketentuan administratif yang harus dipenuhi oleh perbankan,
bahkan sebagian di antaranya pelanggaran ketentuan administratif ini dianggap
sebagai tindak pidana.Hal ini diatur di dalam Undang-Undang Perbankan yang
berlaku. Sebagai contoh adalah bank gelap, tidak memenuhi batas maksimum pemberian
kredit dan sebagainya. Kategori ketiga kejahatan produk bank, produk bank
sangat beragam, karena itu kejahatan yang berhubungan dengan produk bank juga
beraneka ragam, demikian juga ketentuan hukumnya juga beraneka ragam yaitu
KUHP, UU Perbankan, dan Undang-undang Khusus lainnya. Sebagai contoh adalah
pemberian kredit secara tidak benar misalnya tanpa agunan atau agunan fiktif,
pemalsuan warkat bank, pemalsuan kartu kredit, transfer uang kepada yang tidak
berhak dan sebagainya. Kategori keempat yaitu kejahatan profesional perbankan
yaitu kejahatan perbankan yang berkenaan dengan pelanggaran profesi sebagai
bankir. Sebagian pelanggaran ini diatur di dalam Undang-undang yang berlaku,
sebagian lainnya hanya merupakan pelanggaran moral yang diatur dalam Kode Etik
Bankir Indonesia. Sebagai contoh adalah membuka rahasia bank, tidak melakukan
prinsip know your customersehingga meloloskan money laundering. Kategori
kelima, Kejahatan Likuiditas Bank Sentral.Bank Sentral dalam hal ini Bank
Indonesia merupakan tempat meminjam terakhir (the lender of the last resort).
Artinya jika bank-bank mengalami kesulitan likuiditas seperti kalah kliring
atau terjadi rush nasabah, maka bank yang bersangkutan bisa meminjam
uang sementara kepada Bank Indonesia. Hal ini pernah terjadi di tahun 1998 –
1999 di mana Bank Indonesia mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang
dikenal dengan (BLBI) kepada sejumlah bank yang sakit, dengan harapan dapat
sehat kembali. Namun ternyata banyak terjadi penyalahgunaan dana BLBI tersebut.
Kategori keenam adalah pelanggaran moralitas. Selain kejahatan perbankan
tersebut ada juga yang sifatnya masih dalam ruang lingkup etika
perbankan..Penggolongan lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat
dikelompokkan sebagai tindak pidana yaitu tindak pidana umum, misalnya
pemalsuan kartu kredit, giro bilyet dan Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol.
7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 46 sebagainya; tindak pidana perbankan, misalnya
praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas
Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan
sebagainya.
2. MONEY
LAUNDERING (PENCUCIAN UANG)
Money
laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang atau pemutihan
uang. Katamoney dalam money laundering diistilahkan secara
beragam. Ada yang menyebutnya dengan dirty money, hot money, illegal
money atau illicit money. Dalam istilah Indonesia juga disebut secara
beragam yaitu, uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap. Istilah money
laundering sendiri sudah merupakan istilah yang lazim dipergunakan
secara internasional.
Belum
ada definisi yang komprehensif dan
universal tentang money laundering, karena berbagai pihak
seperti institusi investigasi, kalangan pengusaha, negara-negara dan
organisasi lainnya memiliki definisi-definisi sendiri. Secara singkat money
launderingadalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan dana
secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari dana yang sah. Tidak mudah
untuk membuktikan adanya money laundering karena kegiatannya sangat kompleks
sekali. Para ahli menggolongkan prosesmoney laundering ke dalam tiga
tahap yaitu pertama, tahap placement yaitu menempatkan dana yang
dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositokan
uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan, menggabungkan uang tunai
yang bersifat illegal dan uang yang diperoleh secara legal. Bisa juga
dalam bentuk mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing. Kedua,
tahap layering dengan cara pelapisan (layering). Tujuannya
adalah untuk menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya atau asal-usul
dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa
rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain,
memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan
asal-usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing,membeli saham dan
sebagainya. Tahap selanjutnya adalah Integrasi, tahap ini merupakan tahap menyatukan
kembali uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau
layering di atas yang untuk selanjutnya uang tersebut digunakan untuk berbagai
kegiatan yang legal. Dengan cara ini maka nampak bahwa kegiatan yang dilakukan
kemudian seolah tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan illegal sebelumnya,
dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar