Senin, 05 Mei 2014

Perbedaan Distribusi Pendapatan dan Kekayaan Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam

Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan dalam pendistribusian harta, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun individu. Distribusi pendapatan, dalam ekonomi Islam menduduki posisi yang penting karena pembahasan distribusi pendapatan tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi akan tetapi juga berkaitan dengan aspek sosial dan aspek politik. Dasar karakteristik pendistribusian adalah adil dan jujur, karena dalam Islam sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan, semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan distribusi dalam ekonomi kapitalis terfokus pada pasca produksi, yaitu pada konsekuensi proses produksi bagi setiap proyek dalam bentuk uang ataupun nilai, lalu hasil tersebut didistribusikan pada komponen-komponen produksi yang berandil dalam memproduksinya, yaitu empat komponen berikut.
  1. Upah, yaitu upah bagi para pekerja, dan sering kali dalam hal upah, para pekerja diperalat desakan kebutuhannya dan diberi upah di bawah standar.
  2. Bunga, yaitu bunga sebagai imbalan dari uang modal (interest on capital) yang diharuskan pada pemilik proyek.
  3. Ongkos, yaitu ongkos untuk sewa tanah yang dipakai untuk proyek; dan
  4. Keuntungan, yaitu keuntungan (profit) bagi pengelola yang menjalankan praktek pengelolaan proyek dan manajemen proyek, dan ia bertanggung jawab sepenuhnya.

Akibat dari perbedaan komposisi andil dalam produksi yang dimiliki oleh masing-masing individu, berbeda-beda pula pendapatan yang didapat oleh masing-masing individu. Islam menolak butir kedua dari empat unsur tersebut di atas, yaitu unsur bunga. Para ulama Islam telah sepakat dan lembaga-lembaga fiqih –termasuk MUI juga telah mengeluarkan fatwa– bahwa setiap bentuk bunga adalah riba yang diharamkan. Adapun ketiga unsur yang lain, Islam membolehkannya jika terpenuhi syarat-syaratnya dan terealisasi prinsip dan batasan-batasannya.

Sedangkan dalam ekonomi sosialis, produksi berada dalam kekuasaan pemerintah dan mengikuti perencanaan pusat. Semua sumber produksi adalah milik negara.Semua pekerja berada dalam kekuasaan dan rezim negara. Prinsip dalam distribusi pendapatan dan kekayaan adalah sesuai apa yang ditetapkan oleh rakyat yang diwakili oleh negara dan tidak ditentukan oleh pasar. Negara adalah yang merencanakan produksi nasional. Negara pula yang meletakkan kebijakan umum distribusi dengan segala macamnya baik berupa upah, gaji, bunga, maupun ongkos sewa.

Kaum sosialis mengecam masyarakat kapitalis karena di dalam masyarakat kapitalis kekayaan dan kemewahan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, sedangkan mayoritas masyarakat adalah kaum miskin. Mereka menaruh perhatian pada produksi barang-barang perelengkapan dan barang-barang mewah yang merealisasikan kaum kaya dengan keuntungan yang tinggi bagi para pemilik modal, produksi prabotan mewah, alat-alat kecantikan, dan berbagai macam barang kemewahan tanpa menaruh perhatian pada pemenuhan kebutuhan masyarakat luas yang kebanyakan dari kaum fakir. Kadang kala mereka memproduksi barang-barang yang bermanfaat seperti gandum, susu dan lainnya tetapi jika harganya anjlok, maka mereka spontan tidak segan-segan memusnahkannya dengan melemparkannya ke laut atau membakarnya agar harganya tetap mahal seperti yang diinginkannya.

Dalam kekuasaan sistem kapitalis barlangsung praktek-praktek monopoli yang sangat besar dan mengerikan. Kadang kala menjadi perusahaan yang bergerak dalam berbagai macam jenis usaha samapai sebagian perusahaan tersebut menjadi sebuah negara dalam negara, yang tidak tunduk pada pemeintahan setempat. Bahkan memaksa pemerintahan setempat tunduk kepada kemauan dan kepentingan mereka dengan melakukan penyuapan secara jelas dan memuaskan. Dengan demikian tidak seorang pun yang dapat memaksa mereka membuat suatu jenis produksi dan menentukkan jumlah keuntungan karena mereka sendiri yang mengatur dan menentukkan produksi dan harga.

Kritik kaum sosialis terhadap kaum kapitalis tersebut memang benar. Tetapi, mereka memerangi kebatilan dengan hal yang lebih batil darinya. Mereka berlindung di bawah kekuasaan sosialisme dari monopoli kapitalisme kepada monopoli yang lebih buruk dan lebih parah, yaitu monopoli negara yang menguasai semua sarana produksi seperti tanah, pabrik, dan ladang-ladang penambangan. Negara menguasai keuntungan dan tidak dikembalikan seperti pengakuan mereka kepada para buruh (pekerja) yang memimpikan surga yang dijanjikan untuk mereka dalam bayang-bayang sistem sosialisme.

Sosialisme tidak dapat menghapuskan jurang perbedaan yang dikenal di dalam kapitalisme. Bahkan, di dalam sosialisme terdapat perbedaan yang mengerikan dalam soal upah antara dua batas; maksimum dan minimum mencapai perbandingan (1-50) yaitu gaji tertinggi sama dengan lima puluh kali lipat dari gaji kecil.
Lain halnya, dalam ekonomi Islam menolak butir kedua dari empat unsur (upah, sewa, bunga, keuntungan), yaitu unsur bunga. ketiga unsur yang lain, Islam membolehkannya jika terpenuhi syarat-syaratnya dan terealisasi prinsip dan batasan-batasannya. Ekonomi Islam terbebas dari kedua kedhaliman kapitalisme dan sosialisme. Islam membangun filosofi dan sistemnya di atas pilar-pilar yang lain, yang menekankan pada distribusi para produksi, yaitu pada distribusi sumber-sumber produksi, di tangan siapa kepemilikannya? 

Apa hak-hak, dan kewajiban-kewajiban atas kepelikan? Hal ini bukan berarti Islam tidak menaruh perhatian kepada kompensasi produksi. Ia memperlihatkannya juga sebagaimana kita lihat dalam perhatiannya terhadap pemenuhan hak-hak pra pekerja dan upah mereka yang adil setimpal dengan kewajiban yang telah mereka tunaikan. Distribusi dalam ekonomi Islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting yaitu: nilai kebebasan dan nilai keadilan.

Distribusi sangat menyangkut hak-hak indidivu dalam masyarakat. Hak-hak inilah, baik pada individu atau properti, yang menyediakan aturan dasar bagi karakter sebuah ekonomi dan selanjutnya menentukan bagaimana distribusi atas pendapatan dan kekayaan dilakukan. Sehingga konsepsi hak kepemilikan dan hak kebebasan sangat mendasar untuk menentukan dan mencapai pola distribusi yang diinginkan.
Melalui analisis induktif terhadap hukum Islam, Qal’aji (2000:80) memaparkan bahwa Sumber Daya Alam yang merupakan sumber kekayaan sesungguhnya milik Allah. Namun kepemilikan Tuhan ini diamanahkan kepada manusia dengan mekanisme kerja. SDA ini pada kenyataannya ada yang telah dimiliki manusia dan ada yang belum bertuan. Secara garis besar, redistribusi kekayaan dan pendapatan dalam Islam dikenal melalui tujuh cara:
  1. Zakat
  2. Sedekah
  3. Belanja wajiB
  4. Kafarat
  5. Nadzar
  6. Sembelihan
  7. Insentif Negara.

Dalam Islam keadilan distribusi dan diatur hukum Islam yang sebenarnya cukup luar biasa. Namun sayangnya kadangkala akses ke sana sulit dan komitmen untuk mengejewantahkannya masih belum kuat. Di sisi lain, dalam ekonomi konvensional masih umum digunakan dan tampaknya akan berevolusi menuju titik tertentu.

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar