Islam telah
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Salah
satu tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan dalam pendistribusian harta,
baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun individu. Distribusi pendapatan,
dalam ekonomi Islam menduduki posisi yang penting karena pembahasan distribusi
pendapatan tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi akan tetapi juga
berkaitan dengan aspek sosial dan aspek politik. Dasar karakteristik
pendistribusian adalah adil dan jujur, karena dalam Islam sekecil apapun
perbuatan yang kita lakukan, semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan
distribusi dalam ekonomi kapitalis terfokus pada pasca produksi, yaitu pada
konsekuensi proses produksi bagi setiap proyek dalam bentuk uang ataupun nilai,
lalu hasil tersebut didistribusikan pada komponen-komponen produksi yang
berandil dalam memproduksinya, yaitu empat komponen berikut.
- Upah, yaitu
upah bagi para pekerja, dan sering kali dalam hal upah, para pekerja diperalat
desakan kebutuhannya dan diberi upah di bawah standar.
- Bunga, yaitu
bunga sebagai imbalan dari uang modal (interest on capital) yang
diharuskan pada pemilik proyek.
- Ongkos, yaitu
ongkos untuk sewa tanah yang dipakai untuk proyek; dan
- Keuntungan,
yaitu keuntungan (profit) bagi pengelola yang menjalankan praktek
pengelolaan proyek dan manajemen proyek, dan ia bertanggung jawab sepenuhnya.
Akibat dari perbedaan
komposisi andil dalam produksi yang dimiliki oleh masing-masing individu,
berbeda-beda pula pendapatan yang didapat oleh masing-masing individu. Islam
menolak butir kedua dari empat unsur tersebut di atas, yaitu unsur bunga. Para
ulama Islam telah sepakat dan lembaga-lembaga fiqih –termasuk MUI juga telah
mengeluarkan fatwa– bahwa setiap bentuk bunga adalah riba yang diharamkan.
Adapun ketiga unsur yang lain, Islam membolehkannya jika terpenuhi syarat-syaratnya
dan terealisasi prinsip dan batasan-batasannya.
Sedangkan dalam ekonomi
sosialis, produksi berada dalam kekuasaan pemerintah dan mengikuti perencanaan
pusat. Semua sumber produksi adalah milik negara.Semua pekerja berada dalam
kekuasaan dan rezim negara. Prinsip dalam distribusi pendapatan dan kekayaan
adalah sesuai apa yang ditetapkan oleh rakyat yang diwakili oleh negara dan
tidak ditentukan oleh pasar. Negara adalah yang merencanakan produksi nasional.
Negara pula yang meletakkan kebijakan umum distribusi dengan segala macamnya
baik berupa upah, gaji, bunga, maupun ongkos sewa.
Kaum sosialis mengecam
masyarakat kapitalis karena di dalam masyarakat kapitalis kekayaan dan
kemewahan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, sedangkan mayoritas masyarakat
adalah kaum miskin. Mereka menaruh perhatian pada produksi barang-barang
perelengkapan dan barang-barang mewah yang merealisasikan kaum kaya dengan
keuntungan yang tinggi bagi para pemilik modal, produksi prabotan mewah,
alat-alat kecantikan, dan berbagai macam barang kemewahan tanpa menaruh
perhatian pada pemenuhan kebutuhan masyarakat luas yang kebanyakan dari kaum
fakir. Kadang kala mereka memproduksi barang-barang yang bermanfaat seperti
gandum, susu dan lainnya tetapi jika harganya anjlok, maka mereka spontan tidak
segan-segan memusnahkannya dengan melemparkannya ke laut atau membakarnya agar
harganya tetap mahal seperti yang diinginkannya.
Dalam kekuasaan sistem
kapitalis barlangsung praktek-praktek monopoli yang sangat besar dan
mengerikan. Kadang kala menjadi perusahaan yang bergerak dalam berbagai macam
jenis usaha samapai sebagian perusahaan tersebut menjadi sebuah negara dalam
negara, yang tidak tunduk pada pemeintahan setempat. Bahkan memaksa
pemerintahan setempat tunduk kepada kemauan dan kepentingan mereka dengan
melakukan penyuapan secara jelas dan memuaskan. Dengan demikian tidak seorang
pun yang dapat memaksa mereka membuat suatu jenis produksi dan menentukkan
jumlah keuntungan karena mereka sendiri yang mengatur dan menentukkan produksi
dan harga.
Kritik kaum sosialis
terhadap kaum kapitalis tersebut memang benar. Tetapi, mereka memerangi
kebatilan dengan hal yang lebih batil darinya. Mereka berlindung di bawah
kekuasaan sosialisme dari monopoli kapitalisme kepada monopoli yang lebih buruk
dan lebih parah, yaitu monopoli negara yang menguasai semua sarana produksi
seperti tanah, pabrik, dan ladang-ladang penambangan. Negara menguasai
keuntungan dan tidak dikembalikan seperti pengakuan mereka kepada para buruh
(pekerja) yang memimpikan surga yang dijanjikan untuk mereka dalam
bayang-bayang sistem sosialisme.
Sosialisme tidak dapat
menghapuskan jurang perbedaan yang dikenal di dalam kapitalisme. Bahkan, di
dalam sosialisme terdapat perbedaan yang mengerikan dalam soal upah antara dua
batas; maksimum dan minimum mencapai perbandingan (1-50) yaitu gaji tertinggi
sama dengan lima puluh kali lipat dari gaji kecil.
Lain halnya, dalam ekonomi
Islam menolak butir kedua dari empat unsur (upah, sewa, bunga,
keuntungan), yaitu unsur bunga. ketiga unsur yang lain, Islam membolehkannya
jika terpenuhi syarat-syaratnya dan terealisasi prinsip dan batasan-batasannya. Ekonomi
Islam terbebas dari kedua kedhaliman kapitalisme dan sosialisme. Islam
membangun filosofi dan sistemnya di atas pilar-pilar yang lain, yang menekankan
pada distribusi para produksi, yaitu pada distribusi sumber-sumber produksi, di
tangan siapa kepemilikannya?
Apa hak-hak, dan kewajiban-kewajiban atas
kepelikan? Hal ini bukan berarti Islam tidak menaruh perhatian kepada
kompensasi produksi. Ia memperlihatkannya juga sebagaimana kita lihat dalam
perhatiannya terhadap pemenuhan hak-hak pra pekerja dan upah mereka yang adil
setimpal dengan kewajiban yang telah mereka tunaikan. Distribusi dalam ekonomi
Islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting
yaitu: nilai kebebasan dan nilai keadilan.
Distribusi sangat
menyangkut hak-hak indidivu dalam masyarakat. Hak-hak inilah, baik pada
individu atau properti, yang menyediakan aturan dasar bagi karakter sebuah
ekonomi dan selanjutnya menentukan bagaimana distribusi atas pendapatan dan
kekayaan dilakukan. Sehingga konsepsi hak kepemilikan dan hak kebebasan sangat
mendasar untuk menentukan dan mencapai pola distribusi yang diinginkan.
Melalui analisis
induktif terhadap hukum Islam, Qal’aji (2000:80) memaparkan bahwa Sumber Daya
Alam yang merupakan sumber kekayaan sesungguhnya milik Allah. Namun kepemilikan
Tuhan ini diamanahkan kepada manusia dengan mekanisme kerja. SDA ini pada
kenyataannya ada yang telah dimiliki manusia dan ada yang belum bertuan. Secara
garis besar, redistribusi kekayaan dan pendapatan dalam Islam dikenal melalui
tujuh cara:
- Zakat
- Sedekah
- Belanja wajiB
- Kafarat
- Nadzar
- Sembelihan
- Insentif Negara.
Dalam Islam keadilan
distribusi dan diatur hukum Islam yang sebenarnya cukup luar biasa. Namun
sayangnya kadangkala akses ke sana sulit dan komitmen untuk mengejewantahkannya
masih belum kuat. Di sisi lain, dalam ekonomi konvensional masih umum digunakan
dan tampaknya akan berevolusi menuju titik tertentu.
Sumber :